Sabtu, 15 Mei 2010

Ketika Seorang Anak Belajar Arti Sebuah Kekalahan


Audi, anakku yang berusia 10thn, akhirnya memutuskan untuk mengikuti kejuaran tenis Walikota Cup yang diadakan tanggal 13-16 mei 2010. Walau pada mulanya ia tidak begitu yakin akan kemampuannya untuk bermain tenis dengan baik, karena ia baru mulai berlatih tenis selama 6 bulan terakhir ini, namun dorongan teman-temannya membangkitkan keinginannya untuk mengikuti kejuaraan tenis itu.

Seminggu sebelum pertandingan, ia merengek padaku untuk membayarkan uang pendaftaran pertandingan itu. Dan saat itu aku berpikir, mungkin tak apa ia mengikuti pertandingan ini untuk melatih mentalnya di lapangan dan di depan begitu banyak penonton. Aku pun mengijinkannya untuk mengikuti pertandingan itu.

Selama sisa waktu seminggu itu, Audi mempersiapkan dirinya dengan baik. Latihan demi latihan dilakukannya dengan begitu bersungguh-sungguh. Kepercayaan dirinya meningkat ketika selama latihan ia berhasil memenangkan permainan demi permainan yang dilakukan antar temannya sesama anggota klub tennisnya.

Sampai hari itu, tanggal 13 mei 2010, ia dengan begitu bersemangatnya, berangkat menuju tempat pertandingan di lapangan tenis Darma Praja. Begitu tiba di lapangan, ia langsung melakukan pemanasan. Dan begitu tak sabarnya menunggu sampai tiba gilirannya bertanding di lapangan hijau itu. Hari itu, Audi berhasil lolos dari babak penyisihan dan maju ke babak perempat final. Bangga dan bersemangat begitu menyelimuti wajahnya. Kepercayaan dirinya menjadi meningkat. Dan malam itu dalam tidurnya pun ia masih memikirkan pertandingan yang akan dilaluinya setahap demi setahap.

Tanggal 14 mei 2010, Audi terpaksa ijin dari sekolah untuk kembali bertanding. Aku sengaja membawanya ke sekolah untuk meminta ijin tidak masuk. Dengan raket tenis yang terpanggul di punggungnya, ia meminta doa dari teman-teman sekolahnya agar ia dapat menang dalam pertandingannya. Aku menyaksikan dengan tersenyum polahnya yang begitu bersemangat menyambut jabat tangan demi jabat tangan dari teman-temannya yang mendukungnya agar menjadi juara.

Namun hari itu tidak seperti yang diharapkannya. Lawan mainnya di babak perempat final ini tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Kali ini Audi harus berhadapan dengan seorang anak yang sama-sama berumur 10thn tetapi memiliki pengalaman bertanding yang sudah lebih matang dari Audi dan telah pula beberapa kali memenangkan pertandingan tenis di beberapa kejuaraan.

Audi memasuki lapangan. Kecemasan tiba-tiba melanda wajahnya ketika lawan yang sebaya dengan dirinya itu tak menyambut uluran jabat tangannya di awal sebelum permainan di mulai. Kalah mental. Kalah tegar. Itulah yang tergambar dari kondisi Audi saat itu. Dan kecemasan semakin menjadi-jadi ketika 2 servis pertamanya tidak mampu melewati net dan mendung memayungi wajahnya ketika pukulan lawan begitu kerasnya hingga tak mampu ditangkalnya......

Di pertengahan pertandingan, saat wasit memberi waktu istirahat, Audi berlari ke arahku yang duduk di pinggir lapangan. Memelukku dengan begitu eratnya seolah-olah ingin meminta kekuatan. Tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Semangat yang sebelumnya begitu berkobar mulai redup tertiup badai kecemasan akan ketakmampuan dirinya menyeimbangkan permainan lawannya.

Dan di babak terakhir, perlawanan Audi memang benar-benar tak mampu menandingi permainan lawan. Kalah mental, tak mampu membaca situasi arah pukulan lawan, dan pengalaman yang masih begitu kurang membuatnya bertekuk lutut dengan mudahnya di hadapan lawan. Audi kalah telak dengan angka 6-0. Walau teman-teman sesama teamnya memberi dukungan dengan begitu riuhnya bahwa kekalahan Audi ini tidak berarti apa-apa, tetap saja akhirnya airmata itu menetes deras dari matanya.

Audi menangisi kekalahannya di pinggir lapangan. Dengan gumam yang nyaris berbisik ia berkata, "aku kalah, Ma. Aku malu. Ternyata susah sekali berdiri di tengah lapangan itu. Aku grogi setengah mati tadi."

Seorang temannya yang sekarang sudah menjadi peringkat ke 5 di junior tingkat nasional berkata, " Gpp Audi. Aku dulu juga berkali-kali mengalami kekalahan ketika baru pertama kali ikut pertandingan. Dan di pertandingan berikutnya pun aku masih harus melalui kekalahan demi kekalahan sampai akhirnya aku mampu mengalahkan semua lawabku dengan begitu mudah. Jangan nangis, Audi. Nanti ada saatnya kita balas kekalahanmu ini."

Temannya yang lain, seorang anak perempuan kecil duduk di sebelahnya, memegang tangan Audi dan berkata, " Dulu aku juga di ejek waktu pertama kali ikut pertandingan, mana ada anak perempuan gendut bisa berlari menangkap bola dengan mudah, dan aku juga kalah berkali-kali dalam pertandingan-pertandingan pertamaku. Aku juga menangis seperti kamu sekarang. Gpp menangis. Tapi Audi harus berusaha terus ya. Lain kali kita akan bersama-sama menerima piala kemenangan di pertandingan berikutnya."

Hatiku terenyuh. Anak-anak sekecil mereka ternyata telah begitu matang dalam menghadapi kekalahan yang pernah mereka lalui dan mereka dapat bangkit dengan menunjukkan diri mereka dengan kemenangan yang akhirnya dapat mereka gapai. Dan para juara junior tenis itu sekarang memberi kekuatan dan semangat yang sudah lebih dulu mereka miliki itu ke Audi. Bahwa kekalahan itu hanya proses yang memang harus dijalani semua anak untuk mendapatkan sebuah kemenangan yang lebih berharga. Dan yang terutama, mereka melatih mental mereka untuk berdiri dengan tegak di lapangan, tak tergoyahkan dengan apapun yang ditampilkan lawannya atau yang diriuhkan oleh para penontonnya.

Dan hari ini Audi belajar tentang arti sebuah kekalahan. Bahwa kekalahan itu bukan berarti ia tak mampu. Kekalahan itu bukan berarti ia telah gagal dan harus berhenti begitu saja. Kekalahan itu adalah pemacu semangat agar ia berlatih lebih keras lagi. Agar ia berlatih lebih giat lagi. Dan bahwa kelak kemenangan itu akan pula dapat dicapainya. Kekalahan adalah sebuah proses dari sebuah kemenangan yang hanya sedikit tertunda. Kekalahan ini memberi pelajaran bahwa besok jika ia sudah menjadi juara, ia tidak boleh menyombongkan diri.

Ia pernah kalah dan ia bangkit kembali... itulah pelajaran yang utama yang didapatnya hari ini. Dan ini pula yang akan berlaku dalam roda kehidupan yang kelak akan terus di jalaninya. Bahwa saat ia mengalami kegagalan demi kegagalan, ia harus bangkit kembali untuk memperbaiki, untuk belajar lagi, sampai akhirnya ia menjadi pemenang.


Note : Inilah pengalaman pertama Audi mengikuti pertandingan tenis "Kejuaraan Daerah se Kalimantan Walikota Cup yang diadakan tanggal 13-16 Mei 2010 di Lapangan Darma Praja - Banjarmasin. Tak apa Audi kalah kali ini. Tapi asalkan Audi tau, Mama sangat bangga melihat Audi berdiri di lapangan dengan begitu gagahnya. Tak peduli menang atau kalah. Mama bangga bahwa Audi telah berusaha dengan begitu baik dan begitu keras. Sayangnya kita tak memiliki foto Audi kali ini, lho.....

Jumat, 07 Mei 2010

Why This Love Is So Much Pain?


Kenapa semua terasa begitu menyakitkan? Kenapa mencintaimu penuh rasa sakit seperti ini? Apa yang sebenarnya telah terjadi dalam hubungan kita ini? Kenapa semua menjadi berubah? Kamu yang sekarang tidak menyayangiku sepenuh hati seperti kamu yang dulu. Kamu yang sekarang tak lagi menomorsatukanku dalam segala bidang hidupmu. Dan hari ini aku sadar. Aku bukanlah bagian dari keluargamu. Entah budaya kita kah yang berbeda. Entah adat istiadat kita tak sama. Tapi aku merasa, aku tak dianggap sebagai bagian dari keluarga hingga dalam acara pernikahan adikmu, aku hanya seorang tamu yang sebenarnya tak diundang tapi memaksa untuk tetap datang.

Aku kecewa. Sungguh sangat kecewa. Aku merasa sakit. Sungguh sakit sangat.

Berusaha untuk terus bertahan memilikimu. Berusaha untuk masuk kembali dalam hidupmu seperti dulu di masa-masa lalu yang menjadi milikku. Tapi sekarang semuanya telah berubah. Kamu tak lagi seutuhnya milikku. Kamu tak lagi sepenuhnya milikku. Kamu semakin menjauh dariku. Kamu semakin lelah menghadapi mauku. Semuanya sudah berubah. Laki-laki yang begitu mencintaiku dulu sekarang telah tiada. Menghilang entah kemana. Kamu bukan lagi tusku yang selalu mencintaiku, menyayangiku dan menjadikanku bagian hidupmu. Kamu sungguh bukan Tusku yang selama ini kumiliki.

Ternyata mencintaimu akhir-akhir begitu melelahkan. Begitu menyakitkan. Begitu membuatku tak mampu lagi berharap. Begitu membuatku tak tahu lagi apa yang sebenarnya aku inginkan. Sekarang kamu tak lagi peduli akan keinginanku. Kamu tak lagi peduli bagaimana perasaanku. Yang kamu inginkan hanyalah aku yang memenuhi semua maumu. Aku yang memenuhi semua inginmu. Aku yang selalu mematuhi apa yang kau katakana agar aku tak pernah kehilangan dirimu. Tapi semakin hari aku semakin lelah. Sangat lelah. Menggapaimu membuat seluruh tenagaku hilang perlahan. Mengharapkanmu seperti menggapai rembulan yang sejak dulu ku jangkau namun tak jua dapat kuraih.

Aku sungguh lelah.

(c) Cha, banjarmasin, 07 Mei 2010