Senin, 20 Juni 2011

Cerita Yang Tertinggal

Cerita Yang Tertinggal

Desau angin sore yang semilir mempermainkan rambutnya. Udara dingin lembab mulai menembus jaket yang dikenakannya. Warna langit mulai temaram. Menandakan sebentar lagi senja akan datang. Tapi ia tetap pada posisinya. Duduk membatu bersandar sebatang pohon. Menatap pemandangan kota Batu di kejauhan yang terhampar dihadapannya. Tak bergeming.
***
“Nanti sore ku jemput. Tunggu aja di kost!” begitu teriak laki-laki itu setelah mengantarkannya pulang ke rumah kostnya.

Ia terdiam. Melambaikan tangan pada sosok laki-laki itu yang mulai menjauh. Tak terlalu memikirkannya. Karena laki-laki itu bukanlah siapa-siapa.

Namun ketika laki-laki itu kembali muncul di pelataran rumah kostnya. Untuk menjemputnya seperti yang ia janjikan. Debar di dada tiba-tiba muncul tak diundang. Menghantam tembok-tembok pertahanan yang selama ini dibangunnya. Ia tak ingin disakiti lagi. Tidak oleh lelaki ini. Tidak pula oleh lelaki manapun.

“Ayo pergi denganku. Akan kutunjukkan tempat terindah yang akan membuatmu terpesona.”

Teman kuliah. Sama seperti teman lelaki lainnya yang biasa menemani hari-harinya di kampus. Tak ada salahnya pergi bersamanya. Toh, ia hanya teman biasa. Walau di pojokan hati yang tak kasat mata, ada denyar-denyar aneh yang tak biasa.

Dalam boncengan laki-laki bertubuh tinggi di depannya, ia tetap menghalau gelenyar aneh dalam hatinya. Ada rasa nyaman yang selalu dirindukannya. Rasa hangat akan sosok laki-laki yang dulu pernah di pujanya. Namun rasa sakit masa lalu membuatnya kembali membuat tembok-tembok pelindung hatinya.

Tangan laki-laki itu tiba-tiba menyentakkannya. Perlahan laki-laki itu menarik tangan yang sedari tadi ditumpukan dipahanya dan membawanya melingkari pinggang dihadapannya. Diam. Tanpa kata-kata. Membiarkan kehangatan dari genggaman tangan itu merambati seluruh tubuhnya.

“Dia menyukaimu! Perhatiannya itu bukan perhatian seorang teman! Masa kamu tak merasakannya, sih?”
Kata-kata sahabatnya itu kembali menyeruak dalam ingatannya. Membuat dadanya kembali memainkan debar-debar berirama.
***
Sesekali dilemparkannya kerikil-kerikil kecil ke hamparan rerumputan dan pepohonan yang merimbun di kaki bukit ini. Aku ikut terdiam di sisinya. Memperhatikan detail lekuk wajah manisnya yang tertutup kesedihan.

Aku tak begitu mengenalnya. Aku hanya tahu, setiap sore ia akan duduk di situ. Bersandar di pohon yang sama dan menatap ke arah yang sama. Menunggu langit senja memerah dan mengakhirinya ketika kegelapan malam menyelimuti tempat ini. Dulu kupikir ia gila. Hanya gadis gila yang berani menghabiskan waktu ditempat seperti ini malam-malam.
***
Ia menyatakan cintanya malam itu. Disini. Dibawah hamparan langit penuh bintang. Menatap kota Batu di bawah sana yang seperti kota Hongkong di waktu malam. Di tebing, di pinggir jalan masuk menuju tempat wisata air terjun Cuban Rondo.

Ia tidak romantis. Namun dia mampu membuat dadaku menari-nari dalam melodi indah. Genggaman tangannya, tatap matanya saat menyatakan cintanya padaku disini mulai menggoyahkan tembok-tembok pertahanan yang bertahun-tahun kubangun.

Kami menghabiskan waktu disini. Menikmati senja yang memerah saga. Membiarkan kehangatan tangan yang saling menggenggam merambati seluruh denyut nadi tubuh. Menghalau dinginnya udara malam yang menggigit.

Aku tak perlu menjawabnya. Karena aku tahu, ia tak membutuhkan jawaban. Baginya, cinta adalah memberi tanpa syarat. Tak mengharapkan balasan apapun. Dan aku menikmati pemberiannya ini diladang hatiku yang gersang. Berharap ia mampu menumbuhkan ribuan mawar merah di tanah tandus hatiku.

Tahukah kamu? Tembok pertahanku seketika runtuh. Hancur berkeping-keping. Ketika ia membawaku masuk ke dalam sana. Menikmati malam dengan bergandengan tangan. Menyusuri jalan setapak berbatu menuju air terjun itu. Dan di bawah air terjun itu. Bertempias butiran air yang tertiup angin, ia menciumku.
***
Sudah dua malam ini aku menunggunya. Ditempat yang sama. Di bawah pohon yang sama. Di waktu yang sama. Namun ia tak pernah datang lagi. Aku ingin tahu kelanjutan ceritanya. Kemanakah laki-laki yang mampu merobohkan tembok pertahanan hatinya itu? Dua malam ini aku menunggunya hingga larut. Namun hanya desiran angin yang mengisi kekosongan. Dingin yang menggigit nyaris membekukan tulang belulang.

Akhirnya aku berlari ke bumi perkemahan. Ikut merubung api unggun di tengah teman-temanku yang sibuk bernyanyi dan bergitar. Ikut menyanyi di tengah kebingungan. Merindukan kehadiran gadis berwajah sedih yang tak lagi datang.
***
Malam ini adalah malam terakhirku di perkemahan. Besok aku dan teman-teman kantorku akan kembali ke Surabaya. Kembali disibukkan dengan rutinitas kerjaan yang menggila. Tak ada habisnya. Aku ingin kembali bertemu dengan gadis itu.

Namun lagi-lagi aku hanya menemukan tempat kosong. Ditebing yang sama. Di batang pohon yang sama. Aku tertegun. Menunggunya seperti mengharapkan sesuatu yang tak pasti.

“Bodoh!” Kutepuk dahiku sendiri. Kenapa sedari awal tak kutanyakan saja namanya. Atau sekalian saja kuajak berkenalan dan meminta alamatnya atau nomor telponnya. Dalam gundah kudengar teriakan teman-temanku yang memanggilku......
***
Rasa dingin merambati tubuhku. Namun aku tetap disini. Duduk di tebing yang sama. Bersandar di batang pohon yang sama. Siluet tubuhnya masih terbayang dalam benakku. Garis wajahnya yang sedih masih bermain-main dalam ingatanku.

Akhirnya aku kembali lagi ke tempat ini. Rasa penasaranku tentangmu membuatku memutuskan untuk menghabiskan akhir pekanku disini. Berharap ada yang mengenalimu. Berharap kamu adalah penduduk sekitar tempat wisata Cuban Rondo ini.

Tadi sore aku tiba disini. Memarkir mobilku di dekat tebing dimana kamu biasa duduk terdiam memandang kejauhan. Seorang Bapak Tua pencari kayu bakar yang biasa mencari kayu bakar di dalam hutan lindung ini lewat di dekatku. Entah angin apa yang membuatku memanggil Bapak Tua itu dan memaksanya untuk duduk sejenak bersamaku.

Aliran darah tiba-tiba berhenti masuk ke jantungku dan sesaat membuatku lupa untuk bernafas ketika Bapak Tua itu bercerita tentangmu.
Kamu bukan penduduk sekitar sini. Dua bulan yang lalu tubuhmu ditemukan di kaki air terjun Cuban Rondo. Darahmu memerahkan aliran sungainya. Tubuhmu terbungkus dalam guyuran air terjun. Tak ada yang tahu penyebab kematianmu. Tak ada yang tahu mengapa kau mengakhiri hidupmu disini. Namun aku tahu, kamu telah menitipkan cerita yang tertinggal untukku. Dan aku juga tahu, kamu kembali tersakiti.

Surabaya, 24 April 2011
Cerita Yang Tertinggal

Desau angin sore yang semilir mempermainkan rambutnya. Udara dingin lembab mulai menembus jaket yang dikenakannya. Warna langit mulai temaram. Menandakan sebentar lagi senja akan datang. Tapi ia tetap pada posisinya. Duduk membatu bersandar sebatang pohon. Menatap pemandangan kota Batu di kejauhan yang terhampar dihadapannya. Tak bergeming.
***
“Nanti sore ku jemput. Tunggu aja di kost!” begitu teriak laki-laki itu setelah mengantarkannya pulang ke rumah kostnya.

Ia terdiam. Melambaikan tangan pada sosok laki-laki itu yang mulai menjauh. Tak terlalu memikirkannya. Karena laki-laki itu bukanlah siapa-siapa.

Namun ketika laki-laki itu kembali muncul di pelataran rumah kostnya. Untuk menjemputnya seperti yang ia janjikan. Debar di dada tiba-tiba muncul tak diundang. Menghantam tembok-tembok pertahanan yang selama ini dibangunnya. Ia tak ingin disakiti lagi. Tidak oleh lelaki ini. Tidak pula oleh lelaki manapun.

“Ayo pergi denganku. Akan kutunjukkan tempat terindah yang akan membuatmu terpesona.”

Teman kuliah. Sama seperti teman lelaki lainnya yang biasa menemani hari-harinya di kampus. Tak ada salahnya pergi bersamanya. Toh, ia hanya teman biasa. Walau di pojokan hati yang tak kasat mata, ada denyar-denyar aneh yang tak biasa.

Dalam boncengan laki-laki bertubuh tinggi di depannya, ia tetap menghalau gelenyar aneh dalam hatinya. Ada rasa nyaman yang selalu dirindukannya. Rasa hangat akan sosok laki-laki yang dulu pernah di pujanya. Namun rasa sakit masa lalu membuatnya kembali membuat tembok-tembok pelindung hatinya.

Tangan laki-laki itu tiba-tiba menyentakkannya. Perlahan laki-laki itu menarik tangan yang sedari tadi ditumpukan dipahanya dan membawanya melingkari pinggang dihadapannya. Diam. Tanpa kata-kata. Membiarkan kehangatan dari genggaman tangan itu merambati seluruh tubuhnya.

“Dia menyukaimu! Perhatiannya itu bukan perhatian seorang teman! Masa kamu tak merasakannya, sih?”
Kata-kata sahabatnya itu kembali menyeruak dalam ingatannya. Membuat dadanya kembali memainkan debar-debar berirama.
***
Sesekali dilemparkannya kerikil-kerikil kecil ke hamparan rerumputan dan pepohonan yang merimbun di kaki bukit ini. Aku ikut terdiam di sisinya. Memperhatikan detail lekuk wajah manisnya yang tertutup kesedihan.

Aku tak begitu mengenalnya. Aku hanya tahu, setiap sore ia akan duduk di situ. Bersandar di pohon yang sama dan menatap ke arah yang sama. Menunggu langit senja memerah dan mengakhirinya ketika kegelapan malam menyelimuti tempat ini. Dulu kupikir ia gila. Hanya gadis gila yang berani menghabiskan waktu ditempat seperti ini malam-malam.
***
Ia menyatakan cintanya malam itu. Disini. Dibawah hamparan langit penuh bintang. Menatap kota Batu di bawah sana yang seperti kota Hongkong di waktu malam. Di tebing, di pinggir jalan masuk menuju tempat wisata air terjun Cuban Rondo.

Ia tidak romantis. Namun dia mampu membuat dadaku menari-nari dalam melodi indah. Genggaman tangannya, tatap matanya saat menyatakan cintanya padaku disini mulai menggoyahkan tembok-tembok pertahanan yang bertahun-tahun kubangun.

Kami menghabiskan waktu disini. Menikmati senja yang memerah saga. Membiarkan kehangatan tangan yang saling menggenggam merambati seluruh denyut nadi tubuh. Menghalau dinginnya udara malam yang menggigit.

Aku tak perlu menjawabnya. Karena aku tahu, ia tak membutuhkan jawaban. Baginya, cinta adalah memberi tanpa syarat. Tak mengharapkan balasan apapun. Dan aku menikmati pemberiannya ini diladang hatiku yang gersang. Berharap ia mampu menumbuhkan ribuan mawar merah di tanah tandus hatiku.

Tahukah kamu? Tembok pertahanku seketika runtuh. Hancur berkeping-keping. Ketika ia membawaku masuk ke dalam sana. Menikmati malam dengan bergandengan tangan. Menyusuri jalan setapak berbatu menuju air terjun itu. Dan di bawah air terjun itu. Bertempias butiran air yang tertiup angin, ia menciumku.
***
Sudah dua malam ini aku menunggunya. Ditempat yang sama. Di bawah pohon yang sama. Di waktu yang sama. Namun ia tak pernah datang lagi. Aku ingin tahu kelanjutan ceritanya. Kemanakah laki-laki yang mampu merobohkan tembok pertahanan hatinya itu? Dua malam ini aku menunggunya hingga larut. Namun hanya desiran angin yang mengisi kekosongan. Dingin yang menggigit nyaris membekukan tulang belulang.

Akhirnya aku berlari ke bumi perkemahan. Ikut merubung api unggun di tengah teman-temanku yang sibuk bernyanyi dan bergitar. Ikut menyanyi di tengah kebingungan. Merindukan kehadiran gadis berwajah sedih yang tak lagi datang.
***
Malam ini adalah malam terakhirku di perkemahan. Besok aku dan teman-teman kantorku akan kembali ke Surabaya. Kembali disibukkan dengan rutinitas kerjaan yang menggila. Tak ada habisnya. Aku ingin kembali bertemu dengan gadis itu.

Namun lagi-lagi aku hanya menemukan tempat kosong. Ditebing yang sama. Di batang pohon yang sama. Aku tertegun. Menunggunya seperti mengharapkan sesuatu yang tak pasti.

“Bodoh!” Kutepuk dahiku sendiri. Kenapa sedari awal tak kutanyakan saja namanya. Atau sekalian saja kuajak berkenalan dan meminta alamatnya atau nomor telponnya. Dalam gundah kudengar teriakan teman-temanku yang memanggilku......
***
Rasa dingin merambati tubuhku. Namun aku tetap disini. Duduk di tebing yang sama. Bersandar di batang pohon yang sama. Siluet tubuhnya masih terbayang dalam benakku. Garis wajahnya yang sedih masih bermain-main dalam ingatanku.

Akhirnya aku kembali lagi ke tempat ini. Rasa penasaranku tentangmu membuatku memutuskan untuk menghabiskan akhir pekanku disini. Berharap ada yang mengenalimu. Berharap kamu adalah penduduk sekitar tempat wisata Cuban Rondo ini.

Tadi sore aku tiba disini. Memarkir mobilku di dekat tebing dimana kamu biasa duduk terdiam memandang kejauhan. Seorang Bapak Tua pencari kayu bakar yang biasa mencari kayu bakar di dalam hutan lindung ini lewat di dekatku. Entah angin apa yang membuatku memanggil Bapak Tua itu dan memaksanya untuk duduk sejenak bersamaku.

Aliran darah tiba-tiba berhenti masuk ke jantungku dan sesaat membuatku lupa untuk bernafas ketika Bapak Tua itu bercerita tentangmu.
Kamu bukan penduduk sekitar sini. Dua bulan yang lalu tubuhmu ditemukan di kaki air terjun Cuban Rondo. Darahmu memerahkan aliran sungainya. Tubuhmu terbungkus dalam guyuran air terjun. Tak ada yang tahu penyebab kematianmu. Tak ada yang tahu mengapa kau mengakhiri hidupmu disini. Namun aku tahu, kamu telah menitipkan cerita yang tertinggal untukku. Dan aku juga tahu, kamu kembali tersakiti.

Surabaya, 24 April 2011

0 komentar:

Posting Komentar