Jumat, 13 Juli 2012

Sinopsis My Lost Prince

My Lost Prince - Monica Anggen

My Lost Prince

“Cantik sekali. Kamu akan menjadi pengantin wanita yang paling cantik, Moon,” seru desaigner itu sambil menatap bayangan Moon di cermin.

Moon tersenyum. Ia memang terlihat cantik. Pasti Kevin akan sangat terkejut melihat penampilan dirinya ini di hari pernikahan mereka nanti. Seminggu lagi. Dan ia sungguh tak sabar menantikan datangnya hari itu.

Manusia memang boleh berencana. Tetapi sang Sutradara alam semesta juga memiliki rencana lain bagi setiap tokoh yang ada di dalam drama kehidupan. Moon tidak akan pernah menduga bahwa cerita yang akan dihadapinya sangat jauh dari impiannya.

Kecelakaan itu mengubah segalanya. Bukan hanya tubuhnya yang menjadi berbeda. Kakinya divonis cacat untuk selamanya. Kenyataan lain yang harus diterima Moon ketika dirinya masih dalam keadaan koma cukup memukul jiwanya. Moon nyaris tak sanggup menerima semua kenyataan itu. Kevin, laki-laki yang akan dinikahinya itu ternyata tidak seperti yang diharapkannya. Ia kecewa. Ia terluka.

“Aku harus sembuh!” tekad Moon itu membuatnya terbang ke Korea. Negeri asal ibunya itu seperti menjanjikan suatu kehidupan baru. Tapi bisakah kehidupan baru itu menyembuhkan seluruh luka-lukanya?

Moon Eun Lee, adalah gadis peranakan Korea – Indonesia. Ibunya berasal dari negeri Ginseng sedangkan ayahnya adalah pengusaha sukses, pemilik salah satu perusahaan raksasa yang ada di Jakarta.

Pergi ke Korea ternyata memberinya berbagai kejutan lain di sela-sela terapi penyembuhan kakinya. Michael Hwang (Hwang Min Yoo), lelaki peranakan seperti dirinya, tiba-tiba muncul dihadapannya. Laki-laki yang tak dikenalnya itu malah memberikan sejuta perhatian yang membuatnya heran.

Kehadiran Jun Woo Woo, laki-laki asli Korea yang terlahir sebagai anak orang kaya namun memilih menjadi Dokter praktek di rumah sakit tempatnya dirawat juga membuat Moon luluh lantak.

Ada cinta di antara dua pria. Ada dendam pada laki-laki yang nyaris menjadi pasangan seumur hidupnya. Kevin kembali mengejarnya ke Korea. Menangis dan memohon agar Moon kembali mau menjadi kekasihnya, tunangannya. Tapi Moon tak bisa! Cinta itu sudah kering. Bagai anak sungai yang tersumbat aliran airnya di pojokkan dengan sampah-sampah yang berserakan. Moon tidak akan pernah bisa memaafkan pengkhianatan yang telah dilakukan Kevin padanya. Tidak juga untuk ulah Kevin yang membuat perusahaan papa Moon diambang kehancuran.

Michael Hwang, membawanya dalam kejutan-kejutan penuh sensasi yang tak pernah dirasakannya. Moon tahu, ada cinta dalam sikap Michael kepadanya. Dibalik kekasaran dan tindakan seenaknya itu, Michael memiliki hati yang lembut dan perhatian. Moon tidak dapat ingkar. Ada denting piano bermain di pojokkan hatinya. Denting piano yang sama ketika Jun, dokter sederhana itu terus berusaha mengobati kakinya yang mati rasa.

Hingga akhirnya tanpa ia harus memilih, pilihan itu sudah dihadapkan padanya. Michael Hwang adalah laki-laki yang menyebabkan kakinya lumpuh. Kecelakaan malam itu, walau tak disengaja telah mengubah semuanya. Michael Hwang tidak akan mungkin mampu mencintai dirinya. Ia hanya kasihan. Dan Moon benci untuk dikasihani.

Tuhan itu adil mungkin. Masih mungkin. Moon tidak akan bisa menghindari apapun yang telah digariskan Tuhan di dalam hidupnya. Nyatanya, ia harus berterima kasih, karena dari sekian  banyak luka yang didapatnya, masih ada segunung cinta yang dulu tidak pernah benar-benar diperhatikannya.

Jun Woo Woo adalah cinta yang sebenarnya, laki-laki yang tak disangkanya, namun selalu ada di sisinya.

Untuk pemesanan Novel bertanda tangan penulis bisa langsung inbox diriku melalui Facebook : Monica Anggen ya (Narsis habis nih hehehe :p)

 Harga Rp. 34.000,- (belum termasuk ongkir)

Pembayaran bisa melakukan transfer ke :

BCA cab Majapahit Semarang
Atas nama : Monica Octavia Anggen
No rek : 462.044.77.28

Note :
Berhubung diriku ada di Surabaya sampai tanggal 16 Juli 2012, silakan teman-teman yang ada di Surabaya jika ingin membeli lgs bebas ongkir loh :)

Oh iya, novel ini juga bisa langsung di beli di seluruh jaringan toko buku Gramedia, Togamas dan toko buku lainnya yang ada di kota masing-masing :)

Selasa, 02 Agustus 2011

FOR the LOVE of MOM


Buku Antologiku yang ke-3 bersama teman - teman di grup Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN) ini akhirnya diterbitkan juga di bulan Agustus 2011 ini. Berbagai cerita tentang ibu yang tertulis di dalam buku ini akan membawa Anda pada satu rasa, bahwa kasih sayang seorang ibu tak akan pernah dapat tergantikan oleh apapun juga di dunia ini. Tangisan, tawa, bahagia dan berbagai rasa yang mengharu biru dalam dada akan menyertai Anda menikmati buku ini.





Lihat, lihat…satu bintang di ujung malam itu begitu benderang

Cahayanya turun menyinari Bumi

Bersinar dalam pekatnya malam syahdu

Seperti itulah Ibuku…


Sinarnya mampu membawaku ke dalam kedamaian

Terangnya tak lekang oleh gulita malam

Pesonanya tak memudar oleh waktu

Lihat…




Betapa Ibuku Berkilau Bagai Gemintang


Bagaimana Anda mendeskripsikan Ibu Anda? Sebagai sumber air yang cintanya tak berhenti mengalir? Atau bagai kunang-kunang yang menuntun Anda pada sepetak jalan pulang?


Membaca buku ini seperti mengusik hati kecil Anda. Membuat Anda tergelitik untuk sekedar menelpon Ibu dan mengatakan, “Aku rindu, bu.” Semakin Anda menelisik isinya, semakin besar pula pertanyaan Anda pada diri sendiri : sanggupkah aku menjadi sosok Ibu yang dilimpahi kedamaian dan cinta?


For The Love of Mom, sebuah antologi dari 38 penulis handal, mengungkapkan sosok Ibu yang tiada duanya. Mulai dari perjuangan seorang Ibu yang rela pergi ke Negara seberang hanya untuk menghidupi anak-anaknya hingga seorang Ibu yang pandai menjalin komunikasi dengan anak gadisnya.


Semuanya tentang Ibu...Ibu hebat!Semuanya tentang cinta...cinta Ibu kepada anaknya. Dibalut dalam gaya bertutur yang ringan, buku ini snaggup mengaduk-aduk emosi Anda. Ditulis dari 39 sudut pandeng yang berbeda, buku ini layak dijadikan koleksi bacaan Anda. Dilengkapi dengan puisi dan quotes, berpadu apik dengan 40 naskah terbaik.


Jadi tunggu apa lagi? Nantikan kedatangannya, pesan sekarang dan siapkan semua keberanian Anda untuk bersimpuh di kaki Ibu dan katakan...Ibu, aku mencintaimu. :)


Credit to ~Dydie Prameswarie~ yang telah menuliskan resensi seindah ini


Note : Untuk pemesanan buku ini, silakan tinggalkan pesan di buku tamu, atau dapat menghubungi saya. FB : Monica Anggen YM : Monica_anggen Email : monica.ang2@gmail.com

Jumat, 24 Juni 2011

80 Bisnis Sampingan Modal < 5 Juta


Resensi

Judul Buku : 80 Bisnis Sampingan Modal < 5 Juta
Penulis : Astri Novia & Natar Adri
Tebal Buku : 268 hal; Ilustrasi 20 cm
Cetakan : I, Jakarta 2011
Penerbit : Penebar Plus (Penebar Swadaya Grup)
Harga : Rp. 39.000

Kebutuhan hidup yang semakin meningkat tanpa disertai pemasukan yang maksimal dan tanpa pengelolaan yang baik, dapat membuat keuangan rumah tangga kocar-kacir. Apalagi jika sumber keuangan rumah tangga Anda hanya berasal dari satu sumber.

Uang sekolah yang tertunggak, hutang menumpuk, anak tak bisa jajan dan berbagai keluhan kekurangan dana lainnya sebenarnya dapat Anda atasi jika Anda memiliki bisnis sampingan. Tak peduli apapun profesi Anda, entah sebagai karyawan atau hanya sebagai ibu rumah tangga, semuanya dapat melakukan bisnis sampingan tanpa mengganggu pekerjaan utama.

“Bisnis sampingan apa yang bermodal kecil dan menguntungkan?”

Mungkin pertanyaan itulah yang sering terlintas dalam benak Anda.

Buku “80 Bisnis Sampingan Modal < 5 Juta” ini mungkin dapat membantu Anda untuk menemukan calon bisnis sampingan yang dapat Anda kerjakan. Dengan harga hanya Rp. 39.000,-, buku berhalaman 268 ini mampu memberikan inspirasi hingga terciptanya ide-ide yang dapat segera direalisasikan untuk mendirikan bisnis sampingan Anda sendiri. Buku ini sangat mudah didapatkan karena hampir di semua toko buku di seluruh wilayah Indonesia sudah memilikinya dan mendisplaynya dengan apik.

Pada bagian awal buku ini, Anda diajak untuk menemukan cara-cara yang tepat dalam memilih bisnis apa yang tepat dan cocok. Bagaimana mengelola dana yang ada untuk dijadikan modal awal membangun bisnis sampingan. Persiapan-persiapan apa saja yang harus dilakukan untuk memulai bisnis sampingan juga diuraikan dalam poin-poin yang mudah dipelajari dengan bahasa yang ringan.

Di dalam buku ini juga diberikan 80 contoh bisnis sampingan disertai penjabaran bagaimana peluang masing-masing bisnis tersebut, resiko apa saja yang mungkin di hadapi, hambatan dan strategi bisnis serta analisa biaya dan keuntungannya, sehingga para pembaca buku ini dapat memiliki gambaran yang jelas akan bisnis yang hendak dipilihnya.

Bisnis yang sukses adalah bisnis yang disukai dan berdasarkan hobby. Bagaimanapun suatu pekerjaan akan sangat menyenangkan jika Anda mencintai dan menyukai pekerjaan Anda. Karena itu bagi Anda yang hobby memasak, maka Anda dapat memilih berbagai bisnis sampingan yang berhubungan dengan masakan, bagi yang menyukai dunia internet, dapat memilih membuka toko online, dan masih banyak contoh-contoh bisnis sampingan lainnya yang dapat Anda sesuaikan dengan kesenangan Anda.

Segera dapatkan buku murah, besar manfaat ini, pelajari dan pilihlah bisnis yang Anda sukai. Hilangkan keraguan Anda dan bersiaplah menuai keuntungannya..

Senin, 20 Juni 2011

Cerita Yang Tertinggal

Cerita Yang Tertinggal

Desau angin sore yang semilir mempermainkan rambutnya. Udara dingin lembab mulai menembus jaket yang dikenakannya. Warna langit mulai temaram. Menandakan sebentar lagi senja akan datang. Tapi ia tetap pada posisinya. Duduk membatu bersandar sebatang pohon. Menatap pemandangan kota Batu di kejauhan yang terhampar dihadapannya. Tak bergeming.
***
“Nanti sore ku jemput. Tunggu aja di kost!” begitu teriak laki-laki itu setelah mengantarkannya pulang ke rumah kostnya.

Ia terdiam. Melambaikan tangan pada sosok laki-laki itu yang mulai menjauh. Tak terlalu memikirkannya. Karena laki-laki itu bukanlah siapa-siapa.

Namun ketika laki-laki itu kembali muncul di pelataran rumah kostnya. Untuk menjemputnya seperti yang ia janjikan. Debar di dada tiba-tiba muncul tak diundang. Menghantam tembok-tembok pertahanan yang selama ini dibangunnya. Ia tak ingin disakiti lagi. Tidak oleh lelaki ini. Tidak pula oleh lelaki manapun.

“Ayo pergi denganku. Akan kutunjukkan tempat terindah yang akan membuatmu terpesona.”

Teman kuliah. Sama seperti teman lelaki lainnya yang biasa menemani hari-harinya di kampus. Tak ada salahnya pergi bersamanya. Toh, ia hanya teman biasa. Walau di pojokan hati yang tak kasat mata, ada denyar-denyar aneh yang tak biasa.

Dalam boncengan laki-laki bertubuh tinggi di depannya, ia tetap menghalau gelenyar aneh dalam hatinya. Ada rasa nyaman yang selalu dirindukannya. Rasa hangat akan sosok laki-laki yang dulu pernah di pujanya. Namun rasa sakit masa lalu membuatnya kembali membuat tembok-tembok pelindung hatinya.

Tangan laki-laki itu tiba-tiba menyentakkannya. Perlahan laki-laki itu menarik tangan yang sedari tadi ditumpukan dipahanya dan membawanya melingkari pinggang dihadapannya. Diam. Tanpa kata-kata. Membiarkan kehangatan dari genggaman tangan itu merambati seluruh tubuhnya.

“Dia menyukaimu! Perhatiannya itu bukan perhatian seorang teman! Masa kamu tak merasakannya, sih?”
Kata-kata sahabatnya itu kembali menyeruak dalam ingatannya. Membuat dadanya kembali memainkan debar-debar berirama.
***
Sesekali dilemparkannya kerikil-kerikil kecil ke hamparan rerumputan dan pepohonan yang merimbun di kaki bukit ini. Aku ikut terdiam di sisinya. Memperhatikan detail lekuk wajah manisnya yang tertutup kesedihan.

Aku tak begitu mengenalnya. Aku hanya tahu, setiap sore ia akan duduk di situ. Bersandar di pohon yang sama dan menatap ke arah yang sama. Menunggu langit senja memerah dan mengakhirinya ketika kegelapan malam menyelimuti tempat ini. Dulu kupikir ia gila. Hanya gadis gila yang berani menghabiskan waktu ditempat seperti ini malam-malam.
***
Ia menyatakan cintanya malam itu. Disini. Dibawah hamparan langit penuh bintang. Menatap kota Batu di bawah sana yang seperti kota Hongkong di waktu malam. Di tebing, di pinggir jalan masuk menuju tempat wisata air terjun Cuban Rondo.

Ia tidak romantis. Namun dia mampu membuat dadaku menari-nari dalam melodi indah. Genggaman tangannya, tatap matanya saat menyatakan cintanya padaku disini mulai menggoyahkan tembok-tembok pertahanan yang bertahun-tahun kubangun.

Kami menghabiskan waktu disini. Menikmati senja yang memerah saga. Membiarkan kehangatan tangan yang saling menggenggam merambati seluruh denyut nadi tubuh. Menghalau dinginnya udara malam yang menggigit.

Aku tak perlu menjawabnya. Karena aku tahu, ia tak membutuhkan jawaban. Baginya, cinta adalah memberi tanpa syarat. Tak mengharapkan balasan apapun. Dan aku menikmati pemberiannya ini diladang hatiku yang gersang. Berharap ia mampu menumbuhkan ribuan mawar merah di tanah tandus hatiku.

Tahukah kamu? Tembok pertahanku seketika runtuh. Hancur berkeping-keping. Ketika ia membawaku masuk ke dalam sana. Menikmati malam dengan bergandengan tangan. Menyusuri jalan setapak berbatu menuju air terjun itu. Dan di bawah air terjun itu. Bertempias butiran air yang tertiup angin, ia menciumku.
***
Sudah dua malam ini aku menunggunya. Ditempat yang sama. Di bawah pohon yang sama. Di waktu yang sama. Namun ia tak pernah datang lagi. Aku ingin tahu kelanjutan ceritanya. Kemanakah laki-laki yang mampu merobohkan tembok pertahanan hatinya itu? Dua malam ini aku menunggunya hingga larut. Namun hanya desiran angin yang mengisi kekosongan. Dingin yang menggigit nyaris membekukan tulang belulang.

Akhirnya aku berlari ke bumi perkemahan. Ikut merubung api unggun di tengah teman-temanku yang sibuk bernyanyi dan bergitar. Ikut menyanyi di tengah kebingungan. Merindukan kehadiran gadis berwajah sedih yang tak lagi datang.
***
Malam ini adalah malam terakhirku di perkemahan. Besok aku dan teman-teman kantorku akan kembali ke Surabaya. Kembali disibukkan dengan rutinitas kerjaan yang menggila. Tak ada habisnya. Aku ingin kembali bertemu dengan gadis itu.

Namun lagi-lagi aku hanya menemukan tempat kosong. Ditebing yang sama. Di batang pohon yang sama. Aku tertegun. Menunggunya seperti mengharapkan sesuatu yang tak pasti.

“Bodoh!” Kutepuk dahiku sendiri. Kenapa sedari awal tak kutanyakan saja namanya. Atau sekalian saja kuajak berkenalan dan meminta alamatnya atau nomor telponnya. Dalam gundah kudengar teriakan teman-temanku yang memanggilku......
***
Rasa dingin merambati tubuhku. Namun aku tetap disini. Duduk di tebing yang sama. Bersandar di batang pohon yang sama. Siluet tubuhnya masih terbayang dalam benakku. Garis wajahnya yang sedih masih bermain-main dalam ingatanku.

Akhirnya aku kembali lagi ke tempat ini. Rasa penasaranku tentangmu membuatku memutuskan untuk menghabiskan akhir pekanku disini. Berharap ada yang mengenalimu. Berharap kamu adalah penduduk sekitar tempat wisata Cuban Rondo ini.

Tadi sore aku tiba disini. Memarkir mobilku di dekat tebing dimana kamu biasa duduk terdiam memandang kejauhan. Seorang Bapak Tua pencari kayu bakar yang biasa mencari kayu bakar di dalam hutan lindung ini lewat di dekatku. Entah angin apa yang membuatku memanggil Bapak Tua itu dan memaksanya untuk duduk sejenak bersamaku.

Aliran darah tiba-tiba berhenti masuk ke jantungku dan sesaat membuatku lupa untuk bernafas ketika Bapak Tua itu bercerita tentangmu.
Kamu bukan penduduk sekitar sini. Dua bulan yang lalu tubuhmu ditemukan di kaki air terjun Cuban Rondo. Darahmu memerahkan aliran sungainya. Tubuhmu terbungkus dalam guyuran air terjun. Tak ada yang tahu penyebab kematianmu. Tak ada yang tahu mengapa kau mengakhiri hidupmu disini. Namun aku tahu, kamu telah menitipkan cerita yang tertinggal untukku. Dan aku juga tahu, kamu kembali tersakiti.

Surabaya, 24 April 2011
Cerita Yang Tertinggal

Desau angin sore yang semilir mempermainkan rambutnya. Udara dingin lembab mulai menembus jaket yang dikenakannya. Warna langit mulai temaram. Menandakan sebentar lagi senja akan datang. Tapi ia tetap pada posisinya. Duduk membatu bersandar sebatang pohon. Menatap pemandangan kota Batu di kejauhan yang terhampar dihadapannya. Tak bergeming.
***
“Nanti sore ku jemput. Tunggu aja di kost!” begitu teriak laki-laki itu setelah mengantarkannya pulang ke rumah kostnya.

Ia terdiam. Melambaikan tangan pada sosok laki-laki itu yang mulai menjauh. Tak terlalu memikirkannya. Karena laki-laki itu bukanlah siapa-siapa.

Namun ketika laki-laki itu kembali muncul di pelataran rumah kostnya. Untuk menjemputnya seperti yang ia janjikan. Debar di dada tiba-tiba muncul tak diundang. Menghantam tembok-tembok pertahanan yang selama ini dibangunnya. Ia tak ingin disakiti lagi. Tidak oleh lelaki ini. Tidak pula oleh lelaki manapun.

“Ayo pergi denganku. Akan kutunjukkan tempat terindah yang akan membuatmu terpesona.”

Teman kuliah. Sama seperti teman lelaki lainnya yang biasa menemani hari-harinya di kampus. Tak ada salahnya pergi bersamanya. Toh, ia hanya teman biasa. Walau di pojokan hati yang tak kasat mata, ada denyar-denyar aneh yang tak biasa.

Dalam boncengan laki-laki bertubuh tinggi di depannya, ia tetap menghalau gelenyar aneh dalam hatinya. Ada rasa nyaman yang selalu dirindukannya. Rasa hangat akan sosok laki-laki yang dulu pernah di pujanya. Namun rasa sakit masa lalu membuatnya kembali membuat tembok-tembok pelindung hatinya.

Tangan laki-laki itu tiba-tiba menyentakkannya. Perlahan laki-laki itu menarik tangan yang sedari tadi ditumpukan dipahanya dan membawanya melingkari pinggang dihadapannya. Diam. Tanpa kata-kata. Membiarkan kehangatan dari genggaman tangan itu merambati seluruh tubuhnya.

“Dia menyukaimu! Perhatiannya itu bukan perhatian seorang teman! Masa kamu tak merasakannya, sih?”
Kata-kata sahabatnya itu kembali menyeruak dalam ingatannya. Membuat dadanya kembali memainkan debar-debar berirama.
***
Sesekali dilemparkannya kerikil-kerikil kecil ke hamparan rerumputan dan pepohonan yang merimbun di kaki bukit ini. Aku ikut terdiam di sisinya. Memperhatikan detail lekuk wajah manisnya yang tertutup kesedihan.

Aku tak begitu mengenalnya. Aku hanya tahu, setiap sore ia akan duduk di situ. Bersandar di pohon yang sama dan menatap ke arah yang sama. Menunggu langit senja memerah dan mengakhirinya ketika kegelapan malam menyelimuti tempat ini. Dulu kupikir ia gila. Hanya gadis gila yang berani menghabiskan waktu ditempat seperti ini malam-malam.
***
Ia menyatakan cintanya malam itu. Disini. Dibawah hamparan langit penuh bintang. Menatap kota Batu di bawah sana yang seperti kota Hongkong di waktu malam. Di tebing, di pinggir jalan masuk menuju tempat wisata air terjun Cuban Rondo.

Ia tidak romantis. Namun dia mampu membuat dadaku menari-nari dalam melodi indah. Genggaman tangannya, tatap matanya saat menyatakan cintanya padaku disini mulai menggoyahkan tembok-tembok pertahanan yang bertahun-tahun kubangun.

Kami menghabiskan waktu disini. Menikmati senja yang memerah saga. Membiarkan kehangatan tangan yang saling menggenggam merambati seluruh denyut nadi tubuh. Menghalau dinginnya udara malam yang menggigit.

Aku tak perlu menjawabnya. Karena aku tahu, ia tak membutuhkan jawaban. Baginya, cinta adalah memberi tanpa syarat. Tak mengharapkan balasan apapun. Dan aku menikmati pemberiannya ini diladang hatiku yang gersang. Berharap ia mampu menumbuhkan ribuan mawar merah di tanah tandus hatiku.

Tahukah kamu? Tembok pertahanku seketika runtuh. Hancur berkeping-keping. Ketika ia membawaku masuk ke dalam sana. Menikmati malam dengan bergandengan tangan. Menyusuri jalan setapak berbatu menuju air terjun itu. Dan di bawah air terjun itu. Bertempias butiran air yang tertiup angin, ia menciumku.
***
Sudah dua malam ini aku menunggunya. Ditempat yang sama. Di bawah pohon yang sama. Di waktu yang sama. Namun ia tak pernah datang lagi. Aku ingin tahu kelanjutan ceritanya. Kemanakah laki-laki yang mampu merobohkan tembok pertahanan hatinya itu? Dua malam ini aku menunggunya hingga larut. Namun hanya desiran angin yang mengisi kekosongan. Dingin yang menggigit nyaris membekukan tulang belulang.

Akhirnya aku berlari ke bumi perkemahan. Ikut merubung api unggun di tengah teman-temanku yang sibuk bernyanyi dan bergitar. Ikut menyanyi di tengah kebingungan. Merindukan kehadiran gadis berwajah sedih yang tak lagi datang.
***
Malam ini adalah malam terakhirku di perkemahan. Besok aku dan teman-teman kantorku akan kembali ke Surabaya. Kembali disibukkan dengan rutinitas kerjaan yang menggila. Tak ada habisnya. Aku ingin kembali bertemu dengan gadis itu.

Namun lagi-lagi aku hanya menemukan tempat kosong. Ditebing yang sama. Di batang pohon yang sama. Aku tertegun. Menunggunya seperti mengharapkan sesuatu yang tak pasti.

“Bodoh!” Kutepuk dahiku sendiri. Kenapa sedari awal tak kutanyakan saja namanya. Atau sekalian saja kuajak berkenalan dan meminta alamatnya atau nomor telponnya. Dalam gundah kudengar teriakan teman-temanku yang memanggilku......
***
Rasa dingin merambati tubuhku. Namun aku tetap disini. Duduk di tebing yang sama. Bersandar di batang pohon yang sama. Siluet tubuhnya masih terbayang dalam benakku. Garis wajahnya yang sedih masih bermain-main dalam ingatanku.

Akhirnya aku kembali lagi ke tempat ini. Rasa penasaranku tentangmu membuatku memutuskan untuk menghabiskan akhir pekanku disini. Berharap ada yang mengenalimu. Berharap kamu adalah penduduk sekitar tempat wisata Cuban Rondo ini.

Tadi sore aku tiba disini. Memarkir mobilku di dekat tebing dimana kamu biasa duduk terdiam memandang kejauhan. Seorang Bapak Tua pencari kayu bakar yang biasa mencari kayu bakar di dalam hutan lindung ini lewat di dekatku. Entah angin apa yang membuatku memanggil Bapak Tua itu dan memaksanya untuk duduk sejenak bersamaku.

Aliran darah tiba-tiba berhenti masuk ke jantungku dan sesaat membuatku lupa untuk bernafas ketika Bapak Tua itu bercerita tentangmu.
Kamu bukan penduduk sekitar sini. Dua bulan yang lalu tubuhmu ditemukan di kaki air terjun Cuban Rondo. Darahmu memerahkan aliran sungainya. Tubuhmu terbungkus dalam guyuran air terjun. Tak ada yang tahu penyebab kematianmu. Tak ada yang tahu mengapa kau mengakhiri hidupmu disini. Namun aku tahu, kamu telah menitipkan cerita yang tertinggal untukku. Dan aku juga tahu, kamu kembali tersakiti.

Surabaya, 24 April 2011

Jumat, 03 September 2010

Penampakan

Jam tiga pagi akhirnya sampai juga aku di Semarang. Perjalanan panjang yang cukup melelahkan selama delapan jam membuat badanku didera kelelahan yang sangat. Kantuk pun nyaris tak tertahankan lagi karena selama di Bis Patas itu, aku nyaris tak dapat memejamkan mata karena sopir bis nya menyupir bisnya dalam kecepatan yang tinggi.

"Mo mampir cari makan dulu ato mo langsung pulang aja, Cha?" Tanya Adi, suamiku yang menjemputku di depan terminal Terboyo.

"Langsung pulang aja deh, capek banget aku," sahutku dalam kantuk yang semakin menyerang.

Malam itu, aku langsung tertidur di kamar kost yang baru kusewa untuk satu bulan. Hanya selama aku berada di Kota Semarang ini. Aku mendapat kamar mungil di lantai II dengan ruang tamu kecil di depannya dan satu kamar lagi di hadapan kamarku yang ternyata tak berpenghuni. Keadaan rumah kost yang berpenghuni sedikit tak menjadi pusat perhatian utamaku. Kamar yang nyaris kosong pun tak begitu penting bagiku. Yang penting tidur dulu. Sisanya bisa di urus besok pagi, batinku sebelum aku lelap dalam tidur tak bermimpi.

Besok harinya dengan badan segar setelah mandi. Aku pergi mengunjungi kerabat dan kenalan. Barang-barangku masih kubiarkan saja tersimpan dalam tas. Hanya baju yang kuperlukan saja yang sengaja kugeletakkan diatas tempat tidur. Kamar tidurpun masih tetap kubiarkan apa adanya. Seharian itu aku berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain. Baru sore harinya aku kembali ke kost untuk mandi dan berganti pakaian. Rumah kost lenggang. Sepi seperti tak berpenghuni. Ah.... paling penghuni yang lain pada belum pulang kerja, karena itulah rumah ini sepi sekali, batinku lagi berusaha berpikiran positif. Hanya sebentar aku berada di kost itu, karena tak berapa lama Adi kembali mengajakku keluar untuk makan malam.

"Ga papa kan kamu sendirian di kost malam ini?" Tanya Adi waktu mengantarku pulang ke kost. " Aku masuk kerjanya malam, Cha, jadi ga bisa nemenin kamu jalan-jalan di malam hari selama kamu berada di sini." lanjutnya lagi.

Setelah menyatakan bahwa aku akan baik-baik saja, Adi langsung berangkat ke tempat kerja meninggalkanku di depan kost.
Aku membuka pintu depan rumah kostku dan mendapati ruang tamu dalam keadaan gelap gulita dan dua kamar bawah yang ada penghuninya pun masih dalam keadaan gelap tak bernyala lampu. Tanpa berpikiran apapun, aku menyalakan lampu ruang tengah dan langsung masuk ke kamar mandi untuk cuci muka.

Entah mengapa, sebelum naik tangga, aku mengucapkan salam " Assalamualaikum". Dan tanpa kuduga, aku malah mendengar jawaban "Waalaikumsalam"..... Kupikir saat itu, Mas Dani, pemilik rumah kost itu yang kebetulan kamarnya berada dekat dengan tangga, yang menjawab salamku itu. Maka dengan hati tenang aku naik ke kamarku. Melewati ruang tamu kecil di depan kamarku yang masih gelap dan membuka pintu kamarku dengan perlahan.

Baru saja beberapa menit aku duduk di atas tempat tidurku, suara langkah kaki seseorang terdengar berjalan di depan kamarku. Padahal sebelumnya, aku tak ada mendengar suara langkah seseorang yang menaiki tangga kayu. Agak mengherankan memang, tapi belum sempat aku mengintip langkah siapakah itu, seekor kecoak mengganggu pandanganku.

Aku memang sangat takut dengan berbagai jenis binatang yang merayap dan melata. Namun karena hanya aku sendiri yang berada di situ, aku berusaha mengatasi ketakutanku akan kecoak itu dan langsung berusaha mengusirnya dari kamarku. Saat aku membuka pintu kamar untuk mengusir kecoak itu, hawa dingin tiba-tiba merayapi seluruh tubuhku. Padahal jelas-jelas baik jendela ruang tamu depan maupun jendela kamarku tak ada satupun yang terbuka.... Aku merinding. Bulu kuduk meremang membuat perasaanku benar-benar tak nyaman. Segera kututup kembali pintu kamarku dan langsung duduk di atas tempat tidurku.

Tidak sampai lima menit. Kecoak itu kembali masuk ke kamarku melalui sela di bawah pintu. Dengan gemas aku berusaha memburu kecoak itu untuk mematikannya dan melupakan rasa tak nyaman dan merinding itu sejenak. Akhirnya kecoak itu berhasil kubunuh dengan melemparnya dengan sebuah buku tebal. Rasa lega karena terbebas dari fobia serangga, tapi rasa jijik muncul ketika melihat tubuh kecoak yang gepeng tak berupa. Tanpa memikirkan kejadian sebelumnya, aku membuka pintu kamarku lagi untuk mengambil sapu yang memang diletakkan di sisi luar kamarku.

Saat tanganku meraih gagang sapu, aku merasakan kehadiran seseorang di ruang tamu kecil itu. Tanpa sengaja aku langsung mengedarkan pandanganku ke arah sebuah kursi dan meja kecil yang diletakkan di pojokkan ruang tamu itu. Dalam remang-remang ruangan yang tak berpenerangan.... aku melihat sesosok laki-laki di duduk di kursi itu dan memandang ke arahku. Hanya sekejap aku melongo, dan sebelum rasa merinding yang sangat hebat menyerang tubuhku itu membuat kakiku lumpuh tak bergerak, aku langsung melemparkan sapu, mengunci pintu kamarku dan langsung berlari melewati ruang tamu itu. Melewati sesosok laki-laki yang nyaris tak bergerak itu. Lari menuruni tangga dengan langkah-langkah kaki tak terkontrol yang menyebabkan aku tergelincir di tangga. Secepat kilat kembali berdiri dari jatuhku itu dan dengan tangan gemetar berhasil membuka pintu depan rumah kost.

Begitu sampai di depan rumah, rasa merinding itu tetap menyerangku. Rasa takut itu sungguh tak tertahankan. Dan aku memerlukan waktu 15 menit sampai akhirnya aku berhasil membuka gembok pagar depan agar aku bisa meninggalkan rumah kost itu.

Malam itu, aku menyusul Adi ke tempat kerjanya. Dan dengan malu-malu menceritakan kejadian yang telah menimpaku.

"Ha...ha...ha... Perasaanmu aja kali tuh, Cha. Kamu kan memang penakut kalau di tempat gelap. Maaf deh, aku lupa meminta pemilik kost untuk memasangkan lampu di depan kamarmu itu," gelak Adi begitu aku selesai menceritakan kejadian yang menimpaku di kost itu.

Besok paginya, ketika aku kembali ke kost itu lagi dengan di antar Adi, aku bertemu dengan Pak Untung. Bapak Untung itu penghuni terlama di rumah itu. Ia menempati kamar paling depan di lantai I. Dan tanpa sengaja Adi menyeletuk ke Pak Untung :" Pak, Arek e minta pindah ketok e, tadi malam di weruhi kata e." (Pak, anaknya sepertinya minta pindah, tadi malam di perlihatkan sesuatu, katanya)

"Heh? Masa? Di mana?" tanya Pak Untung sambil menatapku.

"Di kursi kecil di pojokan ruang tamu atas," sahutku malu-malu karena tak yakin apakah penglihatanku tadi malam itu benar atau hanya karena aku memang penakut.

"Oalah.... Si Mbah itu memang tempatnya disitu. Dulu ada kursi panjang dari bambu yang menjadi tempatnya di ruang atas itu, tapi oleh Bu Yoga, penghuni yang dulu tinggal di kamar di depan kamarmu itu, kursi bambu itu sudah dikeluarkan..."

"Hah??? Si Mbah siapa, Pak?" tanyaku kaget.

"Ya... Penunggu rumah ini.... Dari dulu memang sudah ada. Dan memang setiap rumah kan ada penjaganya. Nah si Mbak itu sepertinya penjaga rumah ini. Namun hanya pada beberapa orang saja ia memperlihatkan diri. Dia ga mengganggu kok." jawab Pak Untung santai....

Astaga!!! Ternyata rumah kost ini ada penunggunya. Dan setelah mendengar cerita lengkapnya. Pantas saja kamar-kamar yang di atas kosong karena Si Mbah selalu menunjukkan dirinya pada penghuni kamar atas. Pak Budi, penghuni kamar yang sekarang menjadi kamarku langsung keluar setelah "berkenalan" dengan si Mbah. Bu Yoga juga langsung keluar karena pengalamannya lebih ekstrim lagi karena si Mbah langsung menanyainya kemana kursi bambunya. Dan aku???

Sepertinya aku pun lebih baik cepat-cepat mengungsi saja ke tempat kost lain karena nyaliku yang memang sudah penakut tak mungkin tiba-tiba jadi pemberani dalam kondisi ini....


@Semarang, 29 Agustus 2010


Jumat, 18 Juni 2010

LOMBA CERPEN BERTEMA CERITA PANJI

LOMBA CERPEN BERTEMA CERITA PANJI KERJASAMA DEWAN KESENIAN JATIM DAN
DEWAN KESENIAN JOMBANG


LATAR BELAKANG
Penciptaan dan penikmatan karya sastra belum banyak digemari oleh sebagian besar masyarakat. Masyarakat kita lebih akrab dengan hal ihwal di luar sastra, padahal sastra adalah salah satu penopang kebudayaan yang mengandung nilai-nilai yang sangat berguna bagi kehidupan bermasyarakat.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengakrabkan kembali sastra kepada masyarakat adalah dengan diadakannya lomba penulisan yang berdasar pada kisah Panji, yang merupakan khasanah warisan Jawa Timur yang mendunia. Dalam hal ini adalah dengan lomba penciptaan cerpen. Apalagi untuk saat ini perkembangan cerpen di Jawa Timur sangat pesat. Di sisi lain, menulis cerpen memang bukanlah suatu kegiatan mudah namun bukan berarti tidak bisa dilakukan. Siapa saja bisa menciptakan cerpen, tentang apa saja dan bertujuan apa saja.

Dengan menulis sastra maka bisa menghaluskan jiwa, meningkatkan kepekaan, serta memiliki kepedulian lebih tinggi terhadap sesama. Apalagi dengan berpatok pada tema Panji, maka bisa menumbuhkan karya-karya baru yang memiliki spirit melestarikan akar tradisi.


DASAR PEMIKIRAN

  1. Masyarakat perlu diperkenalkan kembali dengan khasanah lama sehingga bisa mengambil nilai-nilai positif yang dikandungnya.
  2. Memacu masyarakat untuk mengenal jati diri lewat internalisasi karya-karya lama ke dalam bentuk karya baru.
  3. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menciptakan cerpen yang berbasis cerita Panji.
  4. Meningkatkan kreativitas dan daya apresiasi masyarakat terhadap sastra lama dan baru.
  5. Diperlukan pembacaan baru dan kontemporer pada khasanah lama, terutama cerita Panji, sehingga sesuai dengan semangat zaman.

MAKSUD DAN TUJUAN
  1. Membangkitkan minat masyarakat dalam dunia kesastraan dan potensi lokal
  2. Menambah wawasan masyarakat terhadapa sastra/cerpen.
  3. Mencetak cerpenis yang berpotensi dan berbakat
  4. Membumikan cerita Panji dengan pendekatan dan perspektif baru
  5. Merangsang daya cipta dan kreativitas masyarakrat dalam menciptakan karya baru berdasarkan khasanah lama.

KELUARAN
  1. Munculnya sikap positif masyarakat terhadap cerpen.
  2. Adanya sikap positif masyarakat terhadap Cerita Panji dan nilai-nilai kearifan lokal.
  3. Munculnya cerpenis berbakat dan potensial dan karya-karya yang brilian

LOKASI
Kantor Dewan Kesenian Jatim dan Dewan Kesenian Kabupaten Jombang

WAKTU
Batas akhir pengumpulan naskah 3 Juli 2010
Penjurian antara tanggal 4-9 Juli 2010
Pengumuman pemenang pada 10 Juli 2010

KARYA DIKIRIM KE:
Dewan Kesenian Jawa Timur
Jl.Wisata Menanggal
Surabaya
60234
Telp/fax 031- 8555 43 04
e-mail: dk_jatim@yahoo. com.
CC: misterhuri@yahoo. com
Kontak person:
Mashuri,Ketua Komite
Sastra Dewan Kesenian Jawa Timur
HP 081 331 3331 31

PENYELENGGARA
Dewan Kesenian Jatim bekerja sama dengan Dewan Kesenian Kabupaten Jombang

PESERTA
Umum

JURI
1.Beni Setia (penulis
dan sastrawan serba bisa, tinggal di Caruban Madiun)
2.R. Giryadi
(aktor, sutradara, cerpenis, pengurus DK-Jatim)
3.Fakhrudin
Nashrullah (cerpenis, penyair dan komite sastra DK-Jombang)

TARGET PESERTA
150 orang

PEMENANG
Dipilih 5 pemenang, dengan perincian 3 pemenang utama, dan 2 pemenang harapan

HADIAH
Total hadial Rp 10.000.000, dengan perincian sebagai berikut:

  • Juara I - mendapat Rp 3.000.000 (Tiga juta rupiah)
  • Juara II - mendapat Rp 2.500.000 (Dua juta lima ratus ribu rupiah)
  • Juara III - mendapat Rp 2.000.000 (dua juta rupiah)
  • Juara Harapan I 1.500.000 (Satu juta lima ratus ribu rupiah)
  • Juara Harapan II 1.000.000 (Satu juta rupiah)

Panjang naskah minimal 5 halaman A4, spasi 1,5, times news roman 12.

Kamis, 17 Juni 2010

Satu Langkah


Hari ini tanggal 17 Juni 2010.....

Satu langkah mulai kujejakkan. Satu langkah baru yang harus segera kumulai untuk menggapai kemandirian dan mimpi-mimpi yang ingin kujelang. Berbagai halangan memang seperti menginjakkan kerikil tajam di telapak kakiku yang telanjang. Tak beralaskan sebuah pegangan. Memang masih meraba, namun kuyakin.... Kesempatan itu tetap ada.

Sejak pagi, aku sudah begitu bersemangat. Semangat bercampur gugup dan sedikit takut. Takut akan salah lagi membayang dalam kabut-kabut perasaan. Untunglah kesegera dapat kutepis agar keraguan tak menyurutkan tekadku.

Untuk yang terakhir kalinya, aku mengantarkan Audi berangkat ke Sekolah. (Yah terakhir kalinya selama aku di Banjarmasin, nanti bakal mengantarkannya lagi begitu Audi sudah kumpul lagi bersamaku)
Jam 09.00 WIB. Semualah telah Siap. Barang-barang sudah terpacking rapi. Tas ransel gunung yang sarat muatan telah terkancing, sebuah tas tangan dan kardus oleh-oleh pun telah siap untuk di jinjing. Sayang kesiapan ini sempat terhalang kembali.

Papa, orang yang paling menentang kepindahanku, berusaha kembali untuk mencegah kepergianku. Kata-kata menyakitkan kembali meluncur dari mulutnya. Kata-kata penuh tekanan yang menyesakkan paru-paru, serasa ingin meledakkan dada hingga berkeping-keping.
Entah sampai kapan, Papa bisa bersikap dewasa pula, bahwa aku bukan lagi boneka barbienya yang bisa digantungin tali lalu digantung disekeliling pinggangnya agar bisa dibawa-bawa kemana-mana. Entah sampai kapan, Papa mengungkapkan rasa sayangnya pada anak-anaknya dengan cara-cara yang menyakitkan seperti itu? Dan membuat anak yang satu dengan anak yang lain saling bersiteru merebut hatinya. (Bagai penjilat kah???)

Aku tak ingin lagi kehidupan yang diatur sedemikian rupa hingga aku tak mampu berdiri di atas kedua kakiku. Aku tak ingin lagi kehidupan yang diberikan dengan berbagai harapan untuk sebuah kebalasan budi, penuntutan kehendak. Bagaimanapun, aku ingin bahagia. Bagaimanapun aku ingin keberhasilan itu, kugenggam dengan kedua tanganku atas kemampuan dan kerja kerasku. Bukan karena sebuah pemberian yang menuntut suatu imbalan yang penuh tekanan.

Karena itu, satu langkah harus kuambil. Satu langkah panjang tanpa gambaran memang. Satu langkah nekat tanpa bekal apapun, hanya sebuah keyakinan diri bahwa aku mampu hidup dengan tangan dan kakiku sendiri.

Dan suatu saat, aku ingin membuktikan. Satu langkah yang kulakukan hari ini. Dengan pengorbanan perasaan yang begitu dalam untuk Audiku. Tidak akan pernah kusia-siakan.
Satu langkah ini akan membawa audi kembali berkumpul denganku di Semarang, dan kehidupan bahagia kami setelah itu tak akan dapat dirusak oleh siapapun lagi....

(c) Semarang, 17 Juni 2010
De, Mama pergi duluan. Jangan nangis yah. Mama akan berusaha secepatnya bisa jemput Dede lagi. Dan kita akan segera berkumpul lagi bersama-sama. Tak akan lagi menjadi parasit dikehidupan siapapun. Tak akan lagi jadi beban siapapun. Doakan mama agar segera dapat kerja ya, De.... Love you!!