Kamis, 22 April 2010

Galau Hati

Dalam segala kegalauan hatiku.
Dalam segala renungan panjangku.
Aku terpuruk dalam sepi.
Rasa sepi yang begitu menyiksa.
Rasa tercampakkan ini begitu menyakitkan.
Asa itu pergi entah kemana.
Seperti kamu yang semakin menjauh dariku.

Kenangan indah mengabur tertutup kabut.
Dan kau turut bersamanya…
Menghilang perlahan namun tetap terasa.
Dan aku bagai daun yang berguguran tertiup angin senja.
Melayang-layang tak tentu rimba,
Karena kau lepaskan pegangan tanganmu dariku.

Entah apa yang sebenarnya kau cari.
Aku berusaha mengerti namun tetap saja tak mengerti.
Aku berusaha memahami walau kau tak berusaha ikut memahami.
Tak tahu apa yang harus kulakukan.
Tak ada lagikah aku di hatimu?
Tak sama lagi kah rasamu seperti rasaku… atau rasa kita yang dulu pernah sama sudah menghilang entah kemana….

Kusadari aku tidaklah sempurna.
Kusadari mungkin aku tak bisa menjadi seperti yang kau minta.
Sekuat apapun aku ingin memenuhinya….
Selalu kurang saja di matamu.
Selalu saja salah karena tak seperti yang kau mau….

Cinta itu sebenarnya apa?
Aku menjadi tak mengerti adakah sebenarnya cinta di antara kita?
Bukankah cinta penuh dengan segala rasa?
Bukankah cinta itu saling peduli?
Bukankah dengan cinta perbedaan pun menjadi sama….
Jika memang ada cinta, pergi kemana sekarang cinta?
Menghilang kemana cinta itu?

Aku ingin mencarinya….
Tapi aku tak tahu kemana harus mendapatkannya.

Katanya cinta itu ada di dalam hati.
Sejak kutahu itu… kutitipkan hatiku yang penuh dengan cinta kepadamu….
Kenapa kau kini menjauh dariku?
Dan kenapa hatiku juga kau bawa pergi?

Sekarang bagaimana aku melanjutkan hidupku tanpa hati?
Bagaimana aku melanjutkan hidupku tanpa kamu yang pernah begitu mencintaiku

Sekarang semuanya begitu hampa. Sekuat tenaga aku menata. Sekuat tenaga kutahan rindu yang menyiksa. Segala cara kualihkan tentangmu yg selalu bermain di pelupuk mata.
Tapi aku tak bisa…
Bagaimana caranya aku menghilangkanmu jika ternyata kmu sudah menjadi nafasku.
Bagaimana caranya aku melupamu jika aku hanya ingin hidup di dunia yang ada kamunya.
Sekuat apa aku harus berusaha jika kau terus bermain dalam setiap nafas yang terhela…
Jika… Aku adalah kamu. Dan kamu adalah aku. kenapa perlahan kau bangun batas itu.
Batas yang membuat kita kembali menjadi dua… bukan lagi satu…..

Aku ingin tahu… bagaimana kamu hidup tanpa mengingatku…?
Aku sungguh ingin tahu bagaimana kau melewati harimu jika mengingatku saat ada kata sempat?
Bagaimana caranya???
Bisakah kamu memberitahuku?
Dalam diam ku menunggu… menunggu saat-saat kau kembali ingat padaku.
Menunggu yang begitu sepi dan menyesakkan.
Menunggu dalam rindu dan pilu yang menjadi satu…
Aku sungguh lelah menunggu kalau akhirnya hanya tangis yang datang menyapaku.

Kenapa cinta begitu penuh rasa sakit seperti ini?
Kenapa rindu tak berbalas hampir membuatku mati?
Kenapa rindu ini menjadi setengah mati…..

Kini jauh sudah kujalani kisah cinta kita yang menjadi penuh duri…
Kini kuhancur dan rapuh….Aku tak yakin lagi ada cinta di dunia ini
Hari-hari kini kulalui dalam sunyi….
Tanpa mimpi dengan seribu tanya sesaki sudut hati

Masihkah ada cinta dihatimu?
Tak dapatkah kau tulus mencintaiku?
Tak dapatkah kau menyayangiku?
Tak dapatkah kau pahami sedikit saja inginku?

Atau kau akan tetap terus melangkah pergi.........
Dan membiarkanku terbiasa dalam sepi.


(c) Cha, 22 April 2010
Ketika kau tak lagi peduli lagi padaku
Ketika saat sempat saja kau cari aku
Dan aku mulai menyelam dalam rindu
perlahan melayang bagai debu

Selasa, 20 April 2010

Ketika aku mengenal Helvy Tiana Rosa

(Naskah ini sebenarnya mau kuikutkan untuk lomba essay HTR... tp batas waktu lomba kan tgl 15 April 2010. Karena aku baru mengenalnya tgl 18 April 2010... da menuliskan naskah ini tgl 20 April 2010... ya udah gpp. Naskah ini untuk apresiasi ku terhadap buku Helvy yang sudah kubaca dan ternyata membawa pengaruh yang baik untukku... Thanks to Helvy atas karyanya yang indah )


KETIKA AKU MENGENAL HELVY TIANA ROSA

Baru setahun terakhir ini terbersit dalam pikiranku untuk belajar dan mengasah kecintaanku akan dunia tulis menulis. Keinginan ini timbul karena banyaknya waktu luang yang sekarang kumiliki serta dorongan dari beberapa teman-teman SMA yang dulu sering membaca karanganku.

Sejak keinginan untuk belajar menulis semakin berakar dalam hatiku, aku semakin giat mengikuti berbagai milis kepenulisan dan salah satunya adalah milis milik Forum Lingkar Pena. Selain itu aku juga mulai mengikuti sayembara menulis yang kutemukan di milis. Dan ketika awal bulan April yang lalu, aku membaca ada lomba menulis essay tentang Helvy Tiana Rosa, aku malah kebingungan. Siapa sebenarnya Helvy Tiana Rosa?

Ratusan buku novel telah kubaca baik karya-karya penulis dalam negeri maupun penulis luar negeri. Hampir dua kali dalam seminggu aku mampir di toko buku besar di kotaku, Banjarmasin, namun tak juga Helvy Tiana Rosa itu kutemukan. Aku semakin penasaran. Dan keinginanku untuk ikut lomba essay tentang Helvy Tiana Rosa ini semakin pupus dengan berjalannya waktu yang semakin mendekati batas waktu pengiriman naskah. Kecintaanku akan buku dan kegilaanku akan membaca seperti tak dapat membawaku untuk mengenal seorang Helvy Tiana Rosa.

Suatu ketika, aku membaca notes dari facebook seorang teman tentang bagaimana ia mengenal Helvy, perjuangannya sampai akhirnya dapat bertemu secara langsung dengan Helvy dalam sebuah pertemuan penulis, walau harus menempuh perjalanan yang sedemikian beratnya namun semuanya langsung terbayar ketika ia bertatap muka dengan Helvy yang dengan menyambutnya di acara tersebut. Semangatnya untuk menulis pun semakin kuat setelah kata-kata Helvy dan karya-karya Helvy mendukung langkahnya dalam dunia kepenulisan. Aku tertegun membaca notes itu. Sedemikian hebatkah pengaruh seorang Helvy Tiana Rosa?

Aku benar-benar tak mengenal seorang Helvy itu. Jika aku tak mengenalnya, bagaimana aku bisa menulis tentang dirinya? Bagaimana aku bisa menceritakan pengalaman hatiku ketika membaca karyanya? Karya-karyanya kenapa begitu susah kutemukan? Apakah buku-buku itu hanya tersedia di toko-toko buku online? Kenapa tak tersedia di toko buku di dunia nyata yang bisa di beli siapa saja jika memang karyanya itu sehebat yang di ceritakan temanku? Betulkah karya Helvy dapat menginspirasi penulis-penulis pemula seperti aku? Ah…. Sepertinya keinginan untuk ikut lomba essay ini harus benar-benar di lupakan saja.

Namun rasa penasaran tak jua kunjung sirna. Padahal aku sudah memutuskan bahwa aku tak bisa menulis apapun tentang Helvy, tetapi tetap saja setiap aku berselancar di dunia maya, aku malah mencari-cari semua informasi tentang dirinya.Tapi semua yang kudapatkan adalah pengalaman orang lain. Itu semua kan masih katanya! Bukan pengalamanku sendiri. Memegang bukunya saja aku tak pernah, masa aku harus menuliskan cerita tentang seorang Helvy yang penuh inspirasi berdasarkan kata orang. Aku tidak mau menuliskan ceritanya hanya berdasarkan kata orang. Iya kalau benar, kalau ternyata Helvy tak sehebat itu, bagaimana? Tak mungkin bagiku menuliskan seseorang yang begitu nyata tanpa aku pernah merasakannya sendiri!

Kulihat penanggalan di agendaku yang mencatat semua tanggal deadline lomba-lomba kepenulisan. Kenyataan pahit terpampang jelas di depan mataku. Tanggal 15 April telah terlewati. Sudah tak sempat lagi. Namun kemisteriusannya menarik diriku untuk tetap mencari tahu.

Tanggal 18 April 2010 aku akan ikut wawancara penerimaan anggota baru FLP Banjarmasin. Satu per satu pertanyaan dari Mbak Sri Murni, pewawancaraku, dapat kujawab dengan lancer karena pertanyaan itu masih tentang siapa diriku dan mengapa aku ingin bergabung dalam Forum Lingkar Pena ini.

Sampai pada satu pertanyaan yang mengungkit rasa bersalahku.

“Apa yang kamu ketahui tentang FLP?” Tanya mbak Sri Murni padaku.

Minggu yang begitu cerah ini tiba-tiba terasa di tutupi mendung dan gerimis mulai mengguyur hatiku. Bagaimana bisa aku ingin bergabung dalam suatu forum tanpa tahu sedikitpun forum apakah itu? Yang aku tahu hanya FLP adalah kumpulan penulis-penulis hebat yang akan membantuku mengasah kemampuan menulisku. Hanya itu.

“Siapa saja penulis FLP yang karyanya sudah Mbak baca?” satu pertanyaan lagi menohok rasa malu-ku.

“Mungkin hanya tahu namanya saja… seperti Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Pipiet Senja yang sekarang lagi sakit, tapi tak satupun karya mereka yang pernah kubaca,” lanjutku dengan tersipu

Dari sinilah segala yang ingin kutahu kutanyakan. Terutama tentang Helvy Tiana Rosa dan karyanya. Akhirnya aku tahu Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia dan Muthmainnah adalah pendiri FLP dan katanya pula banyak hal yang membuat karya-karya Helvy dan penulis-penulis FLP lain tidak bisa di dapatkan dengan mudah di toko-toko buku besar. Dari pembicaraan hari ini pula akhirnya aku mendapatkan nama sebuah toko buku yang menyediakan buku-buku FLP termasuk buku-buku karya Helvy Tiana Rosa.

Tiga buah buku yang ada nama Helvy Tiana Rosa akhirnya kudapatkan. Cuma tiga buah buku saja yang ada di toko buku itu. Itupun ditemukan setelah agak memaksa si penjaga toko bukunya untuk mencarikan yang akhirnya di temukan di pojokan rak paling bawah, agak tersembunyi dan dengan sampul yang mulai menguning.

Begitu sampai di rumah aku langsung bersiap untuk membacanya. Buku pertama yang memikat hatiku adalah ‘SEGENGGAM GUMAM’. Dari buku ini aku mengenal Helvy yang lahir di Medan, tanggal 2 April 1970. Hanya beda 8 tahun lebih tua dariku. Dari perbedaan usia yang tak terlalu jauh dariku, namun apa yang dilakukan Helvy dalam dunia kepenulisan ternyata sangat jauh dariku.

Helvy menulis puisi, cerpen dan naskah drama serat teater sejak duduk di Sekolah Dasar. Malah ketika masih di kelas III SD, puisi Helvy telah dimuat di majalah anak-anak dan ketika kelas V SD, untuk pertama kalinya karyanya dimuat di Koran Sinar harapan Minggu. Padahal aku yang mengaku-ngaku suka menulis sejak kecil, tak pernah berpikir untuk mengirimkan karyaku kemanapun atau membiarkan siapapun membaca karyaku. Yang kulakukan hanya menulis diary dari hari ke hari dan membuat tugas mengarangku sebaik mungkin agar dapat nilai bagus.

Aku semakin mengenal sosok Helvy di buku segenggam gumam ini. Kiprah Helvy dalam dunia kepenulisan bukan seperti membalik telapak tangan, terjadi sekejap dengan mudahnya. Yang dilakukan Helvy adalah berjuang melalui tulisan-tulisannya terutama dalam pengembangan sastra Islam sehingga karya-karya sastranya banyak bernuansa Islami, membela kaum-kaum yang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang, yang membuat tulisannya tidak asal jadi namun melalui sebuah penelitian panjang dengan data-data yang akurat namun di kemas dalam fiksi yang mengandung manfaat begitu besar bagi pembacanya. Bagi Helvy, menulis adalah proses belajar seumur hidup. Hidup di dunia baginya adalah rangkaian ibadah dan kesempatan berbuat kebaikan semata. Menulis cerpen, bila dikerjakan dengan niat baik dan kesungguhan, insya Allah akan membawa maslahat bagi diri pengarang dan masyarakat pembaca dan ini akan menjadi ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah, itulah yang dikatakannya. Dunia sastra seperti menjadi rumah kedua bagi seorang Helvy berdiam. Betapa Ia mendalami sastra dengan segenap pikiran dan jiwanya yang tergambar dalam setiap tulisannya. Bagaimana tidak, sepanjang perjalanan hidupnya, menulis dan terus menulislah yang dilakukan Helvy.

Dalam usianya yang muda, bersama Asma Nadia dan Muthmainnah berhasil membentuk sebuah organisasi penulis. Dari mengadakan bengkel penulisa kecil-kecilan untuk membantu penulis-penulis pemula mengembangkan kemampuan menulisnya, merekrut anggota sambil tetap bergiat menghasilkan karya-karya tulisnya sendiri. Salut! Ternyata apa yang dikatakan orang tentangnya memang benar adanya.

Yang mengejutkan, ternyata di dalam Segenggam Gumam ini, Helvy juga menuliskan sejarah berdirinya FLP, program kerja FLP dan semua tentang FLP yang ingin ku ketahui dan mungkin juga ingin diketahu para anggota baru FLP lainnya. Harusnya, buku ini dijadikan buku pegangan yang harus dimiliki para penulis pemula yang baru bergabung di FLP. Aku beruntung sekali mendapatkan buku ini.

Buku Segenggam Guman ini bukan hanya gumaman Helvy semata. Gumaman sambil lewat yang di dengar syukur, tidak pun, taka pa. Tidak seperti itu. Bagiku, buku ini adalah pikiran-pikiran cemerlang Helvy yang sangat membantu penulis pemula seperti diriku. Seperti pada bagian “ Beberapa Kelemahan Cerpenis Pemula” ( Hal 15, Segenggam Gumam), disini Helvy menjabarkan kelemahan-kelemahan apa saja yang umum dilakukan seorang cerpenis pemula. Dari sini aku dapat belajar untuk menghindari kelemahan-kelemahan tersebut, walaupun sangat susah karena di bab sebelumnya yang berjudul “Menulis Tanpa Beban…..” karena aku lebih suka menulis tanpa beban seperti yang di jabarkan dalam bab ini. Buku ini bagus sekali, karena Helvy membahas tiap bagian di sertai contoh-contohnya sehingga aku dapat menyimpulkan dengan lebih mudah. Tidak seperti buku-buku teori menulis lain yang membahas tentang menulis dengan begitu rumit dan akhirnya susah di cerna.

Buku kedua yang kubaca adalah buku antologi pilihan yang diterbitkan Lingkar Pena Publishing House dengan judul Lelaki Semesta yang ternyata ini adalah judul dari cerpen Helvy. Helvy menceritakan sosok seorang lelaki yang begitu di cintai semua orang, yang begitu baiknya malah mendapatkan tuduhan sebagai dalang kericuhan di dalam dan di luar negeri. Rangkaian kata-kata yang dituliskannya begitu indah hingga aku bisa menghadirkan sosok tersebut dalam pikiranku dan memberikan kesan yang begitu mendalam.

Buku terakhir yang kupunya adalah buku kumpulan cerpen dwibahasa yang berjudul “ Lelaki Kabut dan Boneka”. Satu demi satu cerpen di buku itu ku baca. Aku larut dalam bahasa santunnya yang mengalir namun mampu membawa pembaca masuk dalam ceritanya. Begitu dalam begitu berkesan. Kapankah aku bisa menulis cerita seindah Helvy menuliskannya?

Ternyata Helvy memang membawa inspirasi bagi siapa saja yang membaca karyanya, seperti yang mereka katakan. Seperti yang di internet-internet itu bilang. Ternyata benar….Karena hari ini seorang Helvy memberikan juga semangatnya kepadaku agar aku terus belajar dan berlatih untuk menghasilkan karya yang dapat menggugah perasaan yang membacanya. Karya yang dapat member manfaat bagi orang lain. Karya-karya yang begitu indah seperti karya Helvy Tiana Rosa. Dan aku akan terus menulis dan menulis tanpa kenal lelah, tanpa pantang menyerah.

Minggu depan, jika hasil wawancara penerimaan anggota FLP Banjarmasin memutuskan aku dapat menjadi bagian dari organisasi penulis ini, aku akan mendorong sesama anggota baru untuk memiliki buku Helvy yang sangat inspiratif, terutama segenggam gumam. Aku akan bercerita bagaimana perjuanganku mendapatkan buku ini dan hasilnya tak sia-sia. Aku juga akan berbicara tentang apresiasi. Bagaimana kelak karya yang dihasilkan penulis-penulis baru akan di apresiasi orang lain jika dari awal para penulis baru ini tidak bisa mengapresiasi karya-karya milik para penulis seniornya. Dan salah satu bentuk apresiasi itu adalah dengan membeli, memiliki dan mempelajari serta mengambil manfaat yang pastinya akan sangat berguna bagi perkembangan dunia kepenulisan yang baru akan di rintis oleh para pemula seperti aku. Bentuk apresiasi yang lain adalah menghilangkan kebiasaan meminjam agar buku-buku bagus dimiliki banyak orang dan tak perlu sampai teronggok di pojokan rak buku sebuah toko buku dengan sampul yang menguning….

Mbak Helvy, dari ketiga buku ini aku mengenalmu. Walaupun sebenarnya aku menjadi begitu ingin memiliki buku-bukumu yang lain yang katanya sudah 16 judul. Dari karya-karyamu inilah aku tahu siapa dirimu yang mampu bercerita dengan kata-kata lembut namun dalam. Aku tak menyesal mengenalmu walau hanya melalui karyamu saja. Mungkin terlambat bagiku. Tapi aku akan sangat menyesal jika tak tahu sama sekali tentangmu.

Mbak Helvy, tulisan ini akhirnya ku buat untuk melukiskan betapa senangnya hatiku bisa mengenalmu melalui karya-karyamu. Walau batas waktu lomba essay itu telah berlalu, tak apa. Menulis bukan hanya sekedar menang atau kalah. Menulis adalah berbagi. Aku ingin membagi apa yang kudapat dengan aku mengenalmu seperti ini.

Mbak Helvy, Aku hanya ingin kau tahu, bahwa tulisanmu di tiga buku yang kumiliki ini ternyata mempengaruhiku begitu dalam. Mbak Helvy telah mempengaruhi seorang Monica yang sangat tak percaya diri masuk dalam dunia ke penulisan dalam usia yang katanya cukup terlambat untuk memulai karir sebagai penulis, menjadi berani melangkah dan bergiat dan terus berlatih untuk membuat karya-karya yang bisa bermanfaat bagi orang lain.

Mbak Helvy yang kukagumi, terima kasih. Terima kasih atas karya-karya indahmu. Terima kasih sudah membuatku memantapkan hati untuk mengikuti jejakmu. Jika suatu saat nanti dan di waktu yang tepat dan memang diberikan kesempatan, aku dapat bertemu langsung denganmu. Mengenalmu secara nyata….. Aku akan kembali mengucapkan rasa terima kasihku ini kepadamu atas segala keindahan karyamu yang terpatri dalam hatiku.

Minggu, 18 April 2010

Sahabatku

Aku pernah memilikimu.
Sebagai salah satu sahabat terbaikku.
Namun entahlah apa masih bgitu.
Sampai hari ini entah berapa windu.
Aku tak pernah tahu.
Semua mungkin saja berlalu.
Dengan berjalannya waktu.
Dengan detiknya yang tak pernah menentu.
Sampai kapanpun itu.
Aku ingin kau tahu.
Dan tolong kau ingat dalam kalbu.
Bahwa bagiku.
Kau adalah sahabat kesayanganku
Satu-satunya yang tak pernah lekang oleh waktu.
Yang akan kurindukan slalu.

Harapan

HARAPAN


Jangan pernah berhenti berharap. Apapun itu.

Teruslah berharap karena dengan segala harapan kita akan tetap kuat
menapaki jejak-jejak kehidupan.


Memang tidak mudah.....
Adakalanya satu harapan tak terwujud. Dan membuat kita terjatuh.
Tapi kembalilah berdiri, walau dengan langkah yang goyah....
Janganlah berhenti berharap.

Ketika tangisan dan dera air mata mengharu biru.
Ketik
a rasa sakit membabi buta...
ketika kaki-kaki kehidupan retak dan mulai patah...
Tetaplah
teguh untuk terus berharap...
Jangan pernah lelah..
Jangan pernah menyerah..

Karena...

Harapan akan indah tepat pada waktunya.

Aku akan terus berharap, biar seribu kegagalan menghadang
Aku akan tetap kembali berdiri, ketika aku harus jatuh bangun dalam setiap langkahku di jalan yang penuh dengan kerikil tajam.
Aku akan terus mengetuk, ketika setiap pintu seolah menutup dari hadapanku.
Akan kubuat mereka tetap memandangku, walau setiap wajah memalingkan dengan angkuh saat menatapku.
dan aku akan terus merajut tali-tali senyuman, ketika tangisan demi tangisan menghiasi malam-malamku


10 tahun yang lalu kuhadapi malam dengan tangisan merana. Kelahiran seorang anak yang harusnya membawa kebahagiaan berubah jadi tangisan pilu.. saat kulihat bayi lucu tergolek membiru nyaris putus napas satu-satu. sisa 12 jam lagi... dan jika tidak malaikat ini akan pergi melayang.
Tuhan menciptakannya tidak sempurna. Satu ginjal dan tanpa pembuangan.
Saat itu dalam keadaan goyah.... aku masih punya harapan. Tuhan tak akan semudah itu mengambilnya.
Tuhan pasti masih memberiku kesempatan untuk merawatnya. Dan memang... dalam bantuan tangan-tangan baik... dia terselamatkan malam itu.

Hari berganti hari setelahnya. Tidak mudah merawat bayi aktif yang terus menangis karena tangisan kesakitan akibat luka di perutnya karena untuk pembuangan sementara, kulit-kulit halus yang melapisi perut mungilnya mulai luka dan bernanas dimana-mana. Dan aku sendirian!
Penerimaan ayahnya tidaklah seperti yang kuharapkan. Penyesalan yang harusnya di tebus dengan kasih sayang nyaris tak didapatkannya. Tapi demi apapun, aku akan melakukan apa saja untuk malaikat mungilku. Demi apa saja kutahan segala himpitan perasaan. Apapun...

Tahun mulai berjalan. Keadaan mulai membaik. Malaikat kecilku tumbuh dengan lincahnya. Colostomy bag tak lagi menghiasi perutnya. Pembuatan saluran pembuangan berhasil dilakukan. Tak ada lagi tangisan kesakitan setiap hari. Hanya sesekali dengan perasaan pilu aku harus melakukan pembusian ( memasukkan sejenis besi berbentuk peluru yang besarnya tergantung perkembangan tubuhnya) agar lubang buatan itu berkembang seiring dengan perkembangan tubuhnya.
Dan kembali aku sendirian. Dimana ayahnya? Hura-hura tak berketentuan. Tapi harapan tetap kurajut dalam hati. Semua akan membaik suatu saat. Yah... semua akan baik-baik saja.

Ternyata tidak!! Dalam usia perkawinan 3tahun... akhirnya perpisahan itu terjadi. Ketidakcocokan dalam rumah sudah tak bisa ditolerir. Ayah yang seharusnya menjadi tulang punggung sama sekali tak memenuhi fungsinya. Narkoba menghiasi hari-harinya membangun tembok yang begitu besar dalam rumah mungil kami. Dan dengan segala upaya. Malaikatku dibawa. Pengacara mahal dibayar untuk mendapatkan apa saja yang mereka inginkan. Huru hara dalam perpisahan ini sangat menyakitkan.

Aku? Apa yang bisa aku lakukan untuk mendapatkan malaikatku? Pengaraca mahal? Aku tak mampu membayarnya. Tangisan demi tangisan mengeringkan air mata. Rasa tak berdaya nyaris membelenggu jiwa tanpa tertahankan. Tapi aku punya harapan. YAH.... AKU HANYA PUNYA HARAPAN.
Dukungan ayah, Ibu dan sodara-sodaraku sangat menguatkanku. Dalam2 tahun setelah hari keributan itu... aku tak lagi bisa menggendong, menyentuh bahkan mendengar suara kecilnya memanggil namaku.
2 tahun benar-benar hilang kontak dengan malaikatku.

Beberapa kali aku di panggil oleh pengacara mereka dan di iming-imingi sejumlah uang agar melepas malaikat kecilku. Malaikat kecilku seoalh-olah sebuah barang mainan yang berani mereka beli mahal.
Hai.... dengarlah dunia. Aku tak akan pernah menukar malaikatku dengan gelimangan materi sedikitpun!
Beberapa kali sang pengacara mengatakan, jika tetap nekat berusaha merebut malaikatku dari tangan mereka, tak akan ada tunjangan apapun untuknya. Aku tak takut Pak Pengacara, Malaikatku akan kembali padaku tanpa aku harus berusaha merebutnya. Materi bisa dicari. Tapi sampai ke ujung dunia manapun... malaikat kecilku hanya satu. Ciptaan maha sempurna dimataku.

Hari-hari tanpa malaikatku .... kurajut dalam benang-benang harapan. Setelahnya aku mulai bekerja dalam hari-hari sepiku. Karena aku tetap memilih hidup jauh dari rumah ayahku. Hatiku hanya punya HARAPAN. Dan ternyata HARAPAN yang kubangun tidaklah sia-sia. Tuhan tak pernah meninggalkanku.

Hari itu harapanku terwujud. Tanpa pengacara mahal dan hebat yang mampu kubayar, malaikatku kembali kepangkuanku.Hakim Agung di Atas Sana mengetokkan paluNya dengan begitu adilnya.
"Mama, aku kangen mama. Jangan biarkan aku pergi lagi yah" Kalimat pertama yang kudengar dipertemuan pertama setelah 2 tahun berpisah benar-benar membuat air mataku mengalir deras. Air mata kebahagiaan karena HARAPAN tidaklah pernah sia-sia.

Satu harapan telah terwujud. Tapi jalan kehidupan terus berlanjut.
Roda-roda kehidupan itu berputar dengan anggunnya.... kadang di jalan mulus tanpa lubang..... kadang di jalan terjal dan berbatu.....
Aku mengarungi lautan kehidupan dengan malaikatku menyertaiku. Tangan kecilnya menggenggam erat jari jemariku dan memberikan banyak kekuatan dalam langkah-langkahku.

Dan aku takkan lelah merenda harapan. Seberapa pun mahalnya harga yang harus kutanggung. aku yakin jalan-jalan akan tetap terbuka lebar memberikan segala anugerah dalam kehidupanku walau dengan berbagai macam cara.
HARAPANKU BERIKUTNYA...... Aku ingin memberikan kebahagiaan dalam hidup malaikatku. Aku ingin melihatnya melalui hari-hari ceria masa kanak-kanaknya. Aku ingin memberikan pendidikan untuk bekalnya mengarungi episode kehidupan berikutnya. Dan aku ingin meninggalkan kenangan disuatu hari kelak dalam hatinya.
"Ini loh sayang.... mamamu... dengan tanganku, dengan keringat dan air mataku, aku akan memberikan segala bekal kehidupan dalam pangkuanmu. Dan aku tak akan pernah menukarmu dengan materi apapun. Karena kamulah hartaku yang paling berharga"

Dan berlayarlah harapanku ini.... menuju episode-episode kehidupanku selanjutnya.

Note : Tulisan ini pernah diikutkan di lomba "Sail Your Hope" yang di muat di note FBku

Sabtu, 17 April 2010

Bidadari Bersayap Pelangi

Bidadari, hari ini aku sedih sekali. Di sekolahku ada pentas seni dan aku terpilih untuk menyanyi di panggung. Tapi tadi pagi saat aku bangun, papa sudah berangkat ke kenator. Padahal seminggu yang lalu, aku sudah minta ke papa untuk membantuku menyiapkan baju bidadari yang akan kupakai menyanyi di panggung, mengantarku ke sekolah dan menyaksikanku menyanyi. Ternyata papa melupakannya!
Jangankan menyaksikanku menyanyi, baju bidadari yang papa janjikan pun ternyata lupa papa belikan. Akhirnya Bik Sum hanya memakaikan baju seragam yang biasa kupakai ke sekolah. Aku sedih sekali, Bidadari.... Coba seandainya ada mama, pasti tak akan begini jadinya.


Lia menceritakan kesedihannya kepada bidadari bersayap pelanginya sambil menangis. Tak terbayangkan bagaimana malunya Lia tadi pagi ketika tiba di sekolah.


"Loh Lia, katanya mau pakai baju bidadarimu. Kok malah pakai baju seragam sih?" tanya Sisi heran.

"Ah, paling Lia bohong tu! Mana mungkin dia punya baju bidadari. Diakan ga punya mama yang bantuin dia bikin baju bidadari," kata Nana judes.

Lia berusaha menahan airmatanya. Sakit sekali hatinya di ejek teman-temannya seperti itu. Memang ini salahnya sendiri. Saat Papa berjanji akan membelikan baju bidadari untuknya minggu lalu, Lia langsung bercerita dengan bangga di sekolahnya kalau nanti Lia menyanyi di panggung, Lia akan memakai baju bidadari lengkap dengan sayapnya. Andai Lia tahu kejadiannya akan seperti ini, Lia ga akan cerita sama siapa-siapa tentang baju bidadari itu. Dan coba papa gak lupa membelikannya baju bidadari itu, pasti sekarang Lia tidak akan di ejek.

Sebelum acara di mulai, para orang tua memasuki aula sekolah tempat acara itu diadakan. Teman-temannya dengan bangga menunjukkan yang mana papa dan mama mereka.

"Lihat! Yang baju biru itu adalah mamaku loh. Cantikkan? Di sebelahnya itu papaku.... Wah.. mereka datang untuk melihatku menari," teriak Natasya gembira sambil menunjuk ke arah orang tuanya.

"Mamaku juga datang. Tuh disana. Lihatkan?" sahut yang lain bangga.

Teman-temannya dengan bangga menunjukkan orang tuanya masing-masing dengan bersemangat. Mereka saling berseru akan tampil bagus agar mama dan papa mereka bangga. Semua bergembira. Lia juga ingin seperti mereka. Menunjukkan papanya di depan teman-temannya dengan perasaan bangga. Atau melihat papanya duduk di kursi penonton melihatnya menyanyi di panggung. Lagi-lagi, lia berusaha untuk tidak menangis.

Sejak kecil, Lia tak pernah bertemu mamanya. Sampai sekarang Lia kelas 4 SD, Lia hanya bisa melihat mamanya dari foto yang ada di ruang keluarga di rumahnya. Kata papa, Mama sudah jadi bidadari di surga yang selalu bisa melihat lia di mana pun. Mama jadi bidadari tercantik di surga dengan sayapnya yang berwarna pelangi. Dan kata papa juga, mama tidak suka melihatnya menangis. Tapi saat ini Lia benar-benar ingin menangis. Lia sudah ga punya mama yang bisa lia pamerin ke teman-temannya. Sekarang papa juga tidak bisa di tunjukkannya dengan bangga di depan teman-temannya karena papa ga datang. Papa lupa janji papa sendiri. Lia benar-benar sedih. Apa papa ga sayang Lia? Kenapa Papa ga ingin melihatnya menyanyi? Kenapa papa melupakan baju bidadarinya?

Untungnya, saat menyanyi tadi, Lia dapat menyanyi dengan bagus. Walau hanya berpakaian seragam sekolah. Walau tak sengaja setitik airmata jatuh. Lia menyanyikan lagunya dengan begitu merdu hingga seluruh penonton bertepuk tangan untuknya begitu ia selesai menyanyi.

Lia terus menangis sampai tertidur karena kelelahan. Ketika terbangun, hari sudah sore. Lia keluar dari kamar untuk mandi dan melihat papanya sudah pulang dari kantor. Sambil cemberut Lia menatap ke arah papanya yang duduk menonton televisi.

"Wah... Lia sudah bangun, ya? Gimana tadi di sekolah? Sini Lia, ada yang mau papa bicarakan," kata papanya ketika melihat Lia.

Kemarahan dan kesedihan di hati Lia membuat Lia tak ingin menjawab papanya. Lia langsung berlari ke kamar mandi sambil menangis. Tak di dengarnya suara ketukan di pintu. Di guyurkannya air banyak-banyak agar suara papanya yang memanggilnya tak terdengar lagi.

Ketika Lia keluar dari kamar mandi, Lia cepat-cepat berlari ke kamarnya. Menutup pintu dengan cepat dan terkejut melihat sebuah kotak besar di tempat tidurnya dan buku bergambar bidadari bersayap pelangi miliknya terbuka di atas kotak itu. Lia memperhatikan tulisan yang ada di dalam buku itu, di bawah keluh kesahnya yang tadi siang di tulisnya. Ini tulisan Papa.

Lia, anakku, maafkan papa ya. Hari ini papa tidak bisa menepati janji papa. Tadi pagi mendadak ada masalah di kantor yang harus papa selesaikan hingga papa tidak jadi mengantarkanmu ke sekolah. Maafkan juga karena papa lupa minta tolong Bik Sum untuk memakaikanmu baju bidadari yang sebenarnya sudah papa belikan beberapa hari yang lalu dan tersimpan di kamar papa. Sebenarnya tadi pagi, papa ingin memberi kejutan untukmu dengan memakaikan langsung baju bidadari ini. Karena terburu-buru, papa malah lupa semuanya.
Papa bangga melihat Lia menyanyi di panggung dengan sangat bagus walau hanya memakai baju seragam sekolah.
Kamu adalah bidadari tercantik yang pernah papa lihat. Sekali lagi maafkan papa, ya. Sesibuk apapun papa, papa tak pernah berhenti untuk melihat semua hal terindah yang kamu berikan untuk papa......

Samar-samar terdengar lagu yang Lia nyanyikan tadi siang di sekolah. Lia menangis dan langsung keluar kamar untuk mencari papa. Papa ternyata sedang berdiri di depan televisi yang sedang menampilkan Lia yang menyanyi di panggung sekolah tadi siang sambil menatap Lia dengan tersenyum. Lia langsung berlari kepelukan papa.

"Papa, Lia juga minta maaf. Lia sudah marah sama papa tadi."

"Iya, sayang. Papa juga benar-benar minta maaf sudah membuatmu sedih. Tapi papa sempat menelpon Pak Rudi, gurumu, untuk merekam seluruh acara pentas seni hari ini sehingga papa tetap bisa melihatmu menyanyi walau hanya dari televisi seperti ini. Lihat! Lia adalah bidadari tercantik yang diberikan Tuhan untuk papa. Mama yang melihatmu dari surga pasti bangga sekali."

Sambil terisak, Lia semakin erat memeluk papanya.

"Papa..... harusnya Lia mengerti papa sibuk di kantor. Lia tadi siang iri sekali, Pa, melihat teman-teman Lia dengan bangga memamerkan orang tuanya. Tapi sekarang Lia sudah sadar, buat apa Lia iri. Lia sudah memiliki papa terbaik. LIa tetap bangga sama papa. Walau papa tidak datang, papa tetap melihat Lia menyanyi."

Untunglah ada buku harian bergambar bidadari bersayap pelangi yang selalu menjadi tempat Lia menceritakan perasaannya. Dari buku harian inilah papa tahu kenapa Lia marah sehingga papa dan Lia bisa berbaikan lagi seperti ini. Sekarang Lia mengerti, apa yang papa lakukan semuanya hanya untuk Lia.
Terima kasih mama, sudah memberikan buku Bidadari ini melalui papa ketika Lia masih kecil. Buku ini telah menunjukkan hati papa dan hati Lia yang saling menyayangi....


Note : Belajar membuat cerpen anak.... Tapi pas di baca ulang ternyata masih amburadul dan masih byk perbaikan yang harus kulakukan. Ternyata menjadi seorang penulis itu susah juga yah. Kadang apa yang dimaksud dan apa yang tertuang dalam tulisan berbeda jauh :(( Tapi dari pada ilang di telan kertas-kertas yg berserakan entah kemana. Sementara di endapkan dulu deh di Blog ini.... Buat yg membaca kalau ada kritikan yg membangun, aku sangat senang menerimanya loh :)

JANGAN PUAS(A) MENULIS

Semakin sering orang menulis dan semakin sering pula orang memikirkan (membaca) tulisannya, semakin bagus jualah karyanya. DEAN KOONTZ

Kata-kata motivasi diatas saya baca dari salah satu catatan facebook Pak Hernowo, penulis Mengikat Makna Update, yang mengingatkan saya pada komitmen dalam menulis. Hal ini sangat berkaitan erat dengan apa yang pernah saya tulis di AndrieWongso. Com ; Namun sadarkah kita, apa pun definisi yang telah kita buat tentang kesuksesan, kesuksesan tersebut tetaplah dipengaruhi oleh diri kita sendiri. Ya diri kita sendiri. Bukan orang lain. Bukan pemimpin. Bukan rekan sejawat. Bukan perusahaan. Tapi diri kita sendirilah yang menentukan apakah kita akan sukses, akan bahagia, akan tenang dan lain sebagainya.

Dan, saya pun, sebagaimana sering dilakukan Pak Hernowo dalam bukunya Mengikat Makna Update, ingin menambahkan kata "dalam menulis" setelah kata kesuksesan. Sehingga kita akan mendapatkan kesimpulan bahwa apa pun definisi yang telah kita buat tentang kesuksesan dalam menulis, kesuksesan (dalam menulis) tersebut tetaplah dipengaruhi oleh diri kita sendiri. Ya diri kita sendiri. Bukan orang lain. Bukan pemimpin. Bukan rekan sejawat. Bukan perusahaan. Tapi diri kita sendirilah yang menentukan apakah kita akan sukses dalam menulis, akan bahagia, akan tenang dan lain sebagainya.

Sehingga tepatlah kiranya saya berkomentar mengenai tulisan Pak Hernowo tersebut dengan mengatakan bahwa Para ahli, hanya dapat memberikan perbaikan struktur kata, kalimat bahkan bahasa. Tapi tidak dapat masuk kepada rasa yang diinginkan oleh penulis itu sendiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, yaitu komitmen dalam menulis, saya kira puas dan puasa, sebagaimana tulisan ini saya beri judul, adalah dua hal yang berpotensi besar untuk menghancurkan komitmen tersebut.

Puas dalam menulis; saya artikan sebagai kegiatan bahagia dalam menulis sehingga ia TIDAK MENULIS KEMBALI. Padahal, diakui atau tidak, sebagaimana Pak Bambang Trim menuliskan dalam catatan facebook nya bahwa karier kepenulisan kagak ada matinye! Artinya, tidak ada kata PUAS dalam menulis!

Puasa dalam menulis; saya artikan sebagai kegiatan berhenti menulis. Baik itu karena mengalami kebuntuan atau pun ide yang belum matang. Dalam hal ini kebuntuan, solusi yang ditawarkan Pak Andrias Harefa dalam catatan facebooknya yang berjudul Bekal Penulis , sangat dapat dipraktekkan. Sebagaimana Pak Hernowo, Pak Andrias, sebagaimana diakuinya terinspirasi dari bukunya Pak Bambang Trim, meletakkan membaca sebagai salah satu bekal utama seorang penulis. saya mengatasi berbagai kebuntuan ide dengan membaca, sehingga terpicu lagi untuk menulis, tulis beliau.

Ada pun dalam hal ide yang belum matang, beternak ide-nya Pak Nursalam Ar mungkin bisa menjadi solusi. Dalam catatan facebooknya yang berjudul 7 langkah menulis fiksi, beliau menerangkan hal ini di point nomor dua. Beliau menuliskan empat jurus beternak ide; kandangkan, beri makan, kembang biakkan dan jual!

Sebagai kesimpulan, Janganlahlah berhenti menulis, baik karena puas maupun puasa. Teruslah, sebagaimana tulisan Pak Edy Zaques dalam catatan facebooknya, pertahankan semangat menulis untuk meningkatkan branding. Karena membaca tanpa menulis, dalam hal ini Pak Jufran Helmi yang menulis di catatan beliau, seperti orang yang terus makan tetapi tidak pernah membuang air. Hasilnya adalah penyakit!

;Catatan 'Mengikat Makna' catatan facebook
Radinal Mukhtar Harahap

Senin, 05 April 2010

Mimpi

“Sudah dong, Ra.... Aku capek kaya gini terus kejadiannya. Tiap telpon selalu ribut.”

“Loh... aku kan cuma tanya kenapa akhir-akhir ini kamu jarang kasih kabar ke aku. Jangankan telpon.... sms aja harus aku yang duluan sms berkali-kali baru kamu balas dengan sms yang cuma satu kali.”

“Berkali-kali uda aku jelaskan kan? Aku sibuk, Ra. Sibuk banget akhir-akhir ini. Kamu juga kan yang nyuruh aku untuk usaha lebih giat, untuk lebih semangat mencari-cari peluang. Sekarang peluang itu ada di depan mata, Ra.... Eh malah sekarang kamu curiga terus. Aku capek, Ra kalau tiap kali telpon harus ribut kaya gini.”

“Sesibuk-sibuknya orang, masa gak ada istirahatnya sih? Dan dari saat istirahat itu, kamu bisa kan meluangkan waktu 5 menit aja untuk kasih kabar ke aku. Cuma 5 menit!” teriak Rara.

“Ra, diklat 3 hari ini benar-benar membuat aku kehabisan waktu, Ra. Dan kadang-kadang saat jam istirahat kugunakan waktu untuk berdiskusi atau sekedar mengenal para rekanku sesama peserta diklat, siapa tahu ada peluang-peluang lain. Nah masa orang lagi diskusi gitu aku harus sambil sms-an sama kamu. Ga sopan itu, Ra. Dan orang jadi ga respek sama aku, kalau aku sampai melakukan itu.”

“Aku cuma minta sedikit waktu aja kok. Kamu terlalu banyak alasan. Ada aja yang kamu jadikan alasan kenapa kamu sekarang gak memperhatian ma aku lagi.”

“Terserah apa katamu lah. Aku benar-benar capek. Harusnya kamu mendukungku, tapi kamu malah selalu mencari hal-hal yang bisa kamu jadikan bahan untuk ribut. Aku benar-benar capek.” jawabnya dari seberang sana sambil menutup telpon langsung tanpa pamit.

Rara terdiam. Menangis pun rasanya percuma. Selalu saja jadi ga enak keadaannya setiap acara bertelpon ria seperti ini. Harusnya saat-saat seperti ini menjadi moment indah mereka berdua untuk saling melepaskan rindu karena lama tak bertemu.

Ah... inilah yang kutakutkan bakal akan terjadi sama hubungan kita. Dulu aku pikir rencana untuk pisah sementara meniti masa depan adalah hal terbaik untuk kita. Dan sesuai rencana, 2 bulan lagi aku akan menyusulmu. Tapi kenapa malah seperti ini kejadiannya? Sebulan terakhir ini, kita selalu bertengkar. Kamu yang dulunya begitu perhatian kepadaku kenapa sekarang malah jadi tak peduli? Rara berkutat dalam kegelisahan hatinya.

Instingnya mengatakan bahwa pasti terjadi sesuatu yang membuat Andre berubah. Sejujurnya Rara sangat senang ketika mendapat kabar bahwa Andre mendapat kesempatan untuk bekerja menjadi peserta rekanan salah satu instansi pemerintah sebagai petugas entry data. Rara pun sebenarnya maklum saja akan pekerjaan Andre pastilah sangat banyak. Pada awalnya Andre masih sering memberinya kabar. Tapi satu bulan belakangan ini semuanya berubah. Tak ada lagi perhatian. Tak ada lagi kerinduan yang terluapkan pada saat bertelpon. Yang ada sekarang hanya teriakan demi teriakan. Dan hatinya yang terselimuti curiga begitu menyiksanya. Hampir tiap malam Rara nyaris tak dapat tidur dengan lelap. Hatinya benar-benar gundah. Rasa takut di khianati, kepercayaan dihatinya yang mulai luntur, kegelisahan akan pertemuannya kembali dengan Andre dan akhir kisah hubungan jarak jauh ini akan seperti apa terus menghantui setiap relung pikirannya.

“Ah... menyebalkan....,” jeritnya akhirnya untuk melepaskan segala keresahannya dan berusaha memejamkan mata, subuh sudah menjelang. Rara harus segera tidur kalau ga ingin kesiangan bangun.

* * *

Enam tahun sudah hubungan Andre dan Rara. Enam tahun merenda segala moment-moment kehidupan yang mereka jalani bersama. Menangis dan tertawa bersama telah menjadi bagian dalam hari-hari mereka. Tak ada yang tersembunyi. Cinta yang mereka jalin dengan apa adanya. Tanpa polesan dan sandiwara. Sampai akhirnya keputusan Rara untuk menerima pekerjaan di kota lain membuat mereka harus berpisah sementara.

“Ambil aja kerjaan itu, Ra. Dapetnya kan lumayan tu buat nambahin tabungan kita.” saran Andre ketika itu.

“Tapi kita terpisah loh, Ndre. Apa bisa kita hidup terpisah? Satu tahun itu lama loh, Apalagi banyak teman- teman yang hidup terpisah gitu akhirnya malah ga jadi.” Rara sangat ragu-ragu menerima tawaran kerja itu.

“Ini kesempatan bagus, Ra. Peluang itu ga akan datang dua kali loh. Aku biar disini aja. Mengelola usahaku ini siapa tahu bisa berkembang. Kalau gak ya aku nanti coba-coba cari peluang lain. Tapi yang penting kamu dapat kesempatan yang bagus gini jangan sampai disia-siakan.” kata Andre menenangkan Rara.

“Tapi..... ntar kalau kangen gimana? Kalau kamunya selingkuh gimana?”

“Ga akan lah. Kamu itu calon istri yang kupilih. Cuma kamu yang ada di hatiku dan aku gak mau ada yang lain lagi. Kamu tenang aja. Cuma satu tahun, Ra. Dan di akhir tahun itu, kamu kembali ke kota ini dan kita menikah. Gimana?” wajah Andre yang begitu meyakinkannya akhirnya membuat Rara melangkah untuk menggapai impiannya, mencoba mengais rejeki di kota lain.

* * *

“Andreeee.....!! Kamu harus menjelaskan semuanya ke aku. Apa maumu sebenarnya sih?? Empat hari ini kamu bagai menghilang di telan bumi. Kutelpon berkali-kali, ga kamu angkat. Malah kadang handphonemu mati. Smsku gak kamu balas. Apa maumu sih???” emosi Rara benar-benar pecah sekarang ketika akhirnya handphonenya tersambung ke Andre setelah belasan kali mencoba.

“Ra, aku capek dengan semua ini. Aku ga mau lagi menjalani semua ini.” jawab Andre dari ujung sana.

“Apa maksudmu, Ndre?”

“Kita sudahi aja semua ini. Aku ga tahan akan sikapmu. Kamu mencurigai aku terus. Aku capek jadi orang yang ga kamu percayai, Ra.”

“Maksudmu kita putus???? Lalu janjimu untuk menikah dua bulan lagi itu......” Rara mulai tak dapat menahan segala emosi yang melandanya.

“Batal! Buat apa hubungan ini dilanjutkan kalau kamu ga bisa mempercayaiku....” ketenangan suara Andre membuat hatinya hancur berkeping-keping.

“Ga mungkin hanya alasan itu, Ndre. Alasanmu sama sekali ga masuk akal!!! Jujur aja, Ndre.... Please.... Hatimu sudah di isi dengan yang lain kan??”

Keheningan menyelimuti.... Tak ada jawaban dari Andre.... Hanya isak tangis Rara memenuhi seluruh jaringan yang menghubungkan dua handphone di kota yang berbeda itu.

“Namanya, Echy, Ra. Aku lebih memilihnya.... Maaf.”

Sebelum Rara sempat menjawab, nada terputus langsung terdengar....

* * *

“Aaaaaahhhhh...............” teriakan kalut Rara membahana

“Aku gak mau putus, Ndree! Kenapa kamu lakukan ini...!!!!”

“Bruaaakkk.....” Rara jatuh.

Dengan bingung Rara membuka matanya. Sinar matahari menembus sela-sela tirai yang menutup jendela kamarnya. Di tatapnya handphone yang tergeletak di atas meja rias di seberang tempat tidurnya. Di lihatnya jam dinding yang menempel di atas meja rias, jam tujuh.

Rara langsung menarik nafas lega. Ah … ternyata hanya mimpi. Pastilah mimpi ini ada karena terbawa kejadian sesaat sebelum dia tertidur subuh tadi.