Jumat, 25 Desember 2009

Aku Selalu Mencintaimu

Aku Selalu Mencintaimu

“Kringggg….”

“Kringgg…”

Ah… suara yang sangat mengganggu yang sayup-sayup terdengar dalam tidurku. Dengan malas ku berbalik menghadap jendela… ternyata hari sudah terang benderang dan sepoi angin pagi berselaput embun berhembus lemah menerpa tubuhku. Kutolehkan kepalaku ke arah nakas di samping tempat tidurku dan sadarlah bahwa suara yang mengganggu itu adalah suara wekerku.

“Astaga…. 07.25….” Teriakku sambil meloncat turun dari tempat tidurku. Bergegas aku lari ke kamar mandi. Telat lagi deh hari ini…. Pikirku lemas.

Tak sampai dari 10 menit aku telah siap berangkat ke kantorku. Sekilas ku tatap tempat tidur di sisiku….. Ah… Bintang telah berangkat pagi-pagi sekali seperti biasanya. Kukeluarkan motor dari garasi rumahku dan mulai ikut dalam hiruk pikuk kemacetan kota Surabaya di pagi hari.

Akhirnya sampai juga aku di kantorku di daerah Pucang. Kulirik jam tangan di pergelanganku… 07.55… Masih ada waktu 5 menit lagi… pikirku sambil memarkir sepeda motorku di parkiran khusus karyawan. Menyampirkan tas kerja di pundakku dan dengan langkah lebar, aku bergegas. Baru saja tanganku mendorong pintu masuk kantor… tiba-tiba…..

“Happy Birthday…..”

“Selamat Ulang Tahun, Cha….”

Di tengah keterkejutanku, tiba-tiba lagu ulang tahun membahana. Mbak Wati, salah seorang rekan kerja yang dekat denganku maju ke arahku dan memelukku sambil nyengir.

“Selamat Ulang Tahun ya..Bu…. Semoga panjang umur,” katanya sambil mencium pipi kiri dan kananku.

“Oalah… ini pasti idemu ya Mbak…. Tapi makasi banyak yah…” kataku menahan setitik air mata yang mendesak hendak keluar dari sela-sela mataku.

Tak berapa lama, setelah ucapan demi ucapan kuterima, semua teman-temanku membubarkan diri dari hadapanku dan kembali ke ruangannya masing-masing. Aku terduduk di mejaku, ah… Bintang melupakan lagi satu hari bahagia dalam hidupku. Awal tahun lalu pun, Bintang melupakan ulang tahun pernikahan kami. Dan kali ini lagi-lagi, Bintang melupakannya.

Padahal ketika awal pernikahan kami, ketika ulang tahunku tiba tepat jam 12 malam. Bintang akan membangunkanku, dengan senyumnya yang menawan dia mengucapkan Selamat ulang tahun padaku, menyodorkan sebingkis hadiah dan pelukan hangatnya langsung merengkuhku dalam pelukannya. Dan keesokan harinya, Bintang akan mengajakku menikmati makan malam bersama untuk merayakannya di sela-sela kesibukan kami.

Tapi lambat laun, hal sederhana namun sangat istimewa ini terkikis begitu saja dalam kehidupan kami. Terenggut paksa oleh sebuah komitmen dimana Bintang mendapat promosi di kantornya dengan konsekuensi tugas-tugas yang semakin menggunung. Waktu kebersamaan hilang perlahan, Bintang pulang dari kantor ketika jauh malam disaat aku telah terhanyut dalam mimpiku. Dan berangkat ke kantor sebelum matahari terbit, disaat aku belum terjaga dari tidurku.

Ah… mungkin aku yang harus memulainya lagi agar Bintang tak terhanyut dalam kesibukannya… putusku dengan tekad membara dalam hati. Dengan semangat yang membuncah dalam hati, aku memulai semua pekerjaanku hari ini dan ingin mengakhirinya tepat waktu. Jam istirahat siang nanti aku akan menelpon Bintang untuk mengundangnya makan malam……

“Hallo sayang, Cha ganggu bentar yah…..” kata-kataku langsung menyerocos ketika kudengar suaranya menyapa disana.

“Ya..Cha… Ada apa? Aku agak sibuk nih padahal jam makan siang gini tapi nyaris ga ada waktu buat istirahat.” Keluhnya seolah-olah ingin menyatakan betapa sibuknya dia.

“Wah maap kalau ganggu ya, tapi aku ingin kau pulang lebih cepat hari ini. Aku akan memasak makanan kesukaaanmu malam ini. Bisa kan?”

“Hmmmm.. Ku usahakan ya Cha….” Katanya ragu-ragu.

“Ok… tapi kuharap kamu sungguh mengusahakannya sayang…. Kita sudah lama ga makan malam bersama…” putusku.

“Ok..Ok…. sampe nanti malam…. “ katanya langsung memutuskan telpon sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi.

Tanpa menduga-duga apapun, aku melanjutkan pekerjaanku. Semoga saja Bintang benar-benar mengusahakannya…. Harapku dalam hati berusaha mengenyahkan pikiran negatif yang mengganggu.

Begitu sibuknya aku menginginkan pekerjaanku selesai semua, nyaris tak berasa waktu pulang kantor tiba. Aku bergegas merapikan mejaku. Mengelompokkan pekerjaan yang telah selesai dan memasukkan kembali ke rak untuk pekerjaanku yang belum jadi.

Bagusnya lagi… hari ulang tahun ini ternyata dihari Sabtu…. Dan baru kusadari ketika aku mengisi jurnal harian pekerjaanku. Wah… benar-benar bagus. Semangat emapt lima menyelimuti hatiku dan aku langsung bergegas meninggalkan kantor dan mampir ke salah satu Supermarket yang dekat dengan rumahku.

Jam 19.00 wib. Makanan telah siap terhidang, tertata rapi di meja makan mungil di rumah kami. Sepasang lilin membuat suasana menjadi lebih romantis. Aku mengecek ulang semuanya agar tidak ada yang terlewatkan. Piring-piring cantik koleksi terbaikku telah terletak bersisian untukku dan Bintang. Sebotol red wine telah manis berpita dalam wadah perak tempat batu-batu es mendinginkannya. Ya… sekarang waktunya aku berdandan, putusku dalam hati setelah merasa semuanya siap seperti yang aku inginkan.

Jam 19.30…. aku duduk manis di ruang tamu, membaca sebuah majalah untuk membunuh waktu yang terasa begitu menyiksa. Sebentar lagi Bintang datang, gaungan sebuah kalimat terus bergema dalam pikiranku berusaha menghapus keraguan yang mulai mendera. Ku bolak balik lembar demi lembar halaman majalah di tanganku tanpa sedikitpun berusaha mencerna apa yang tertulis.

“ Dreeettt… dreeett….”

Getar ponselku yang tergeletak di meja di hadapanku mengejutkanku.

“Hallo…. “ jawabku tanpa memperhatikan sebelumnya nomor si penelpon.

“Cha…. Kamu makan duluan deh. Aku sepertinya ga bakal bisa sampai dalam beberapa waktu ini. Bos mendadak memintaku menyerahkan laporan sekarang juga sebelum aku pulang. Makanlah duluan…. Begitu selesai aku langsung pulang.”

Tanpa sempat mendengar jawabanku, sambung telpon ini langsung dimatikannya. Aku tergugu dalam diam yang menyiksa. Astaga…. Pikirku. Dan tak sampai sedetik aku langsung lari ke kamar. Tak sedikitpun menolehkan pandangan kearah meja makan yang begitu manisnya. Semua sia-sia… batinku dan airmata langsung deras menghiasi mataku dan mengaburkan pandanganku.

Kuhampaskan tubuhku diatas ranjang yang terasa begitu dingin. Kuraih sebuah buku, buku harianku dari salah satu laci nakas di samping tempat tidurku. Di buku inilah segala perasaan yang begitu menyiksa dapat kulampiaskan. Berbulan-bulan hanya di buku ini semuanya tertuang. Betapa rindunya aku akan Bintangku. Betapa menyiksanya hari-hari dimana kebersamaan telah terkikis dari kami. Segala perhatian, kasih sayang dan canda tawa yang kurindukan hanya dapat kutuangkan dalam buku ini. Sosok Bintang yang semakin jauh dari kehidupanku, yang nyaris tak dapat lagi kuraih. Kecurigaan-kecurigaan yang mulai membayang dalam hatiku akan kesibukan Bintang yang nyaris tak bisa diterima akalku.

Airmata mengotori halaman yang kutulis. Membuat tinta tulisanku mengabur dan berbayang. Dan kuakhiri tulisanku dengan “ Bintang sudah tak mencintaiku lagi.” Dan tanpa kusadari, lelah hati membuatku jatuh tertidur.

Bintang

Jam 16.00…. waktuku bergegas pulang. Dengan tergegas kumasukkan laporan yang telah kuselesaikan dan bakal dipakai untuk rapat besok pagi. Kurapikan mejaku dari begitu banyaknya kertas-kertas yang berserakkan, kumatikan CPU komputerku dan menenteng tas kerjaku sambil melangkah ke pintu. Tepat begitu pegangan pintu akan kuraih, pintu terbuka dan sekretaris kantorku masuk tergesa.

“Bintang…. Bapak Pimpinan menginginkan laporanmu diserahkan padanya hari ini sebelum kau pulang, dan mendiskusikan beberapa hal untuk rapat besok.”

“Loh… bukannya laporan ini harus diserahkan dulu ke divisi marketing untuk melihat apakah pasar bisa menerima skema produk baru yang akan kita launching?”

“Iya… rencana awal memang begitu, tapi tadi Bos bilang, selama ini ide-idemu selalu dapat diterima pasar dengan baik dan langsung booming. Jadi lebih ringkas, Bos mempelajari laporanmu hari ini dan tinggal mendiskusikannya besok saat rapat jika ada tambahan-tambahan yang diperlukan.” Istiarti menambahkan “Lagian kamu sih membiasakan semua orang dikantor ini menyita jam pulangmu, jadi seperti sudah menjadi kebiasaan untuk mengganggu ketika kau akan melangkahkan kaki untuk pulang.” Cengiran lucu menghiasi wajahnya.

“Astaga…. Ga bisa kau wakilkan Is?” tanyaku penuh harap.

“Ah… rasanya bukan kebiasaanmu deh, untuk menyerahkan tanggung jawabmu ke orang lain.” Katanya…..”Oh iya, sebelumnya kau Copy beberapa untuk dibagikan ke bagian lain sebelum kau serahkan ke Bos… agar semuanya sudah mempelajari laporanmu itu dan besok tinggal berdebatnya saja.” Sambungnya sambil melambaikan tangan berlalu.

“Astaga…” Sekali lagi kugumamkan kata itu dalam keterkejutanku. Rencanaku untuk pulang lebih cepat langsung buyar bagai kabut asap yang tertiup angin dihadapanku. Mungkin jika aku bergegas, waktu yang kuperlukan akan cukup. Putusku sesegara mungkin dan setengah berlari menuju ruang personalia dimana tempatnya mesin fotokopi tersimpan.

Sementara menunggu lembar demi lembar selesai terfotokopi, pikiranku melayang dalam bayang-bayang bagai melihat slide film kehidupanku.

Prestasi dalam bekerja yang selalu menghiasi ambisiku terwujud. Promosi dan kenaikan jabatan yang kuincar akhirnya kudapatkan dengan konsekuensi yang rasanya begitu mahal kubayarkan dengan hilangnya begitu banyak hari-hari istimewa dan kebersamaanku dengan Micha. Kesibukanku nyaris tak masuk diakalku sendiri. Rasanya pekerjaan untuk 10 orang harus ke atasi sendiri. Tapi aku memaklumi karena kantorku merupakan anak cabang perusahaan yang baru saja dibuka, dengan tenaga kerja terselektif ( Istilah yang diberikan oleh Istiarti bagi karyawan yang berhasil masuk dalam kantor ini ).

Desain demi desain untuk produk-produk yang dihasilkan perusahaan utama masuk ke meja kerjaku bagai hujan kertas yang menghambur disetiap sudut mejaku. Staf desain yang berada di bawah pimpinanku hanya berjumlah 3 orang yang semuanya manusia-manusia baru dalam dunia kerja. Setelah desain mentahnya dikerjakan mereka, aku membuat finishingnya termasuk bagaimana iklan yang akan digunakan untuk pemasaran produk baru tersebut.

Prestasi gemilang mendapat fasilitas yang lumayan, membuat aku harus terus menunjukkan dedikasiku bagi perusahaan. Beberapa hari istimewa terlewatkan. Aku sadar aku salah karena belum juga dapat membagi waktuku untuk Micha. Kerinduan terselubung sering menghantui tidurku dan hanya bisa berharap Micha memahaminya.

Tadi malam, ketika aku pulang dan mendapati begitu nyenyaknya Micha terlelap membuatku mengurungkan niatku untuk langsung membangunkannya dan mengucapkan selamat ulang tahun. Lebih baik aku mandi dulu dan setelahnya baru kubangunkan, pikirku saat itu. Namun karena begitu lelahnya, aku malah langsung terlelap begitu membaringkan tubuhku di sebelah Micha.

Hadiah ulang tahun yang telah kusiapkan ikut terbawa kembali dalam tas kerjaku begitu keesokan harinya, aku tersentak bangun dan bergegas bersiap ke kantor karena tak ingin kemacetan membuatku terlambat sampai di kantor. Padahal jam 08.00 tepat aku harus menyambut beberapa tamu yang merupakan klien penting perusahaan yang akan mendiskusikan iklan yang akan dipakai untuk produk perusahaan kami.

“Tang…. Sadar ui…,” sebuah tepukan di bahu mengagetkanku.

“Ardi…. Ngapain kamu disini?” tanyaku kebingungan, tersentak dari lamunan dalam keadaan terkejut ternyata sungguh tak mengenakkan.

“Lah, kamu sendiri ngapain? Bengong di depan mesin fotokopi kaya ayam kehilangan telurnya. Tu mesin dari tadi udah diam tak berbunyi, kamu malah diam aja.”

“Waduh…. Waktu tersia-sia karena lamunan,”teriakku begitu kulirik jam dinding di atas kepalaku yang menunjukkan waktu 16.45.

Ardi tertawa melihatku begitu tergesa-gesanya mensteples lembar demi lembar laporanku sehingga membentuk bebebrapa jilidan berkas buku. 9 buku laporan ku letakkan di atas meja dalam tiap ruangan yang kulewati untuk dibaca pimpinan divisi lain yang akan ikut rapat besok hari. Satu jilid aku masukkan dalam tasku dan yang asli aku rapikan kembali dalam mapnya dan setengah berlari menuju ruangan pimpinanku.

Ternyata waktu yang kulalui di ruang pimpinan tidak terlalu lama. Hanya beberapa diskusi kecil dan sedikit pujian darinya karena aku menyelesaikan laporanku tepat waktu dan kesediaanku untuk pulang lebih lambat dari yang lain kuterima dengan ucapan terima kasih.

Tak berapa lama aku telah duduk dalam mobil yang merupakan salah satu fasilitas kantor untukku dan ngebut ke sebuah cake shop untuk membeli Tiramisu cake kesukaan Micha. Sambil menyetir mobilku, ku telpon Micha mengabarkan aku akan terlambat. Aku tahu apa yang Micha harapkan ketika tadi siang dia menelponku. Perayaan ulang tahunnya yang terlupakan. Dan sejujurnya aku tak ingin melalui hari ini seperti hari-hari istimewa lain yang telah terlalui begitu saja. Aku ingat hari ini ulang tahun Micha.

Namun kecepatan mobilku tidak seperti yang kuharapkan. Kemacetan lalu lintas kota Surabaya saat jam pulang kerja ini menjadi benar-benar menyiksaku saat ini. Perjalanan dari daerah Raya Darmo menuju jalan Biliton terasa sangat lama.

Tiramisu cake telah ada di atas jok penumpang disebelahku dan sebuket mawar merah tersanding manis disebelahnya. Sedikit kelegaan merayapi hatiku. Namun tetap saja rasa gugup melandaku ketika kulirik jam di dasbor mobil sudah hampir jam 20.00. Rumahku di daerah Juanda tetap saja bagai berpuluh-puluh kilo meter lagi baru akan kujelang. Mobilku yang merayap di sepanjang jalan A.yani akhirnya dapat membebaskan diri dari kemacetan. Namun tetap saja waktu tak dapat menunggu seperti yang kuharapkan.

Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 ketika aku memarkir mobilku digarasi. Menutup pagar dan masuk ke dalam rumah. Lampu-lampu menyala terang benderang di setiap bagian ruangan. Dengan miris aku menatap meja makan dan melihat begitu banyaknya hidangan yang aku yakin telah dimasakkan Micha sendiri dengan cintanya kepadaku. Dan kesedihanku tak dapat kusembunyikan ketika kutatap piring makan Micha yang masih bersih dan tergeletak manis disebelah piring makanku. Micha belum menyentuh makanannya pula karena menungguku tiba.

“Micha….” Panggilku dengan suara yang tak yakin dapat di dengarnya karena aku sendiri mendapati suaraku nyaris berbisik.

Micha terbaring di atas tempat tidur kami dengan sebuah buku ditangannya. Buku penuh tulisan dengan tinta yang membelobor dimana-mana karena airmata. Kesedihannya begitu jelas tertuang dalam kata demi kata yang ditorehkannya.

Dear Dairy,

Aku tak tahu lagi kemana aku harus mencurahkan segala isi hati yang begitu menyesakkan dadaku. Satu lagi hari istimewa terlewati begitu saja. Ulang tahunku kali ini akan sama dengan ulang tahunku yang telah terlewat tahun-tahun yang lalu. Keindahan dan kemesraan yang kudapatkan dari orang yang paling aku cintai sedikit demi sedikit aus bagai bebatuan yang diterpa air terjun yang begitu besar. Kemesraannya, canda tawanya seolah dapat membunuhku secara perlahan karena aku begitu mendambakannya. Tak perlu hadiah mahal nan memikat mata untuk mengungcapkan perasaan, hanya sedikit perhatian, “selamat ulang tahun, sayang” sudah dapat menghapus seluruh dahagaku dalam tahun-tahun yang begitu sepi akhir-akhir ini. Aku merindukan Bintangku, yang selama ini selalu menghiasi segala penjuru aozoraku dengan kerlap kerlipnya yang menyilaukan mata. Adakah hal lain yang begitu memabukkan Bintang sehingga Ia melupakan setiap sensasi kehidupan kami yang dulu begitu membahagiakan? Adakah seonggok hati lain yang menghiasi hatinya? Ataukah pekerjaannya yang begitu membuatnya berambisi menjadi yang terbaik dapat menyingkirkan aku dari kehidupannya?

Ah…. Aku sangat lelah memikirkannya dalam setiap hari-hariku yang begitu sepi saat ini. Dan kesadaran baru menyayat hatiku dengan luka berdarah-darah. Bintang Sudah tak mencintaiku lagi saat ini. Dan aku benar-benar kehilangan.

Kuakhiri tulisan Micha dengan hati yang sakit. Sama sakitnya mungkin seperti yang Micha rasakan saat menorehkan kata demi kata dalam buku ini.

Aku bergegas mandi. Menggunakan pakaian terbaikku. Perlahan namun pasti, kurengkuh tubuhnya yang terbaring begitu lemahnya.

“Micha…… Sayang, bangun…. “ Bisikku pelan di telinganya agar Ia tak terkejut dari tidurnya. Kuusapkan jemari tanganku di punggungnya agar segera tersadar dari mimpinya yang menyedihkan.

“Micha…. Aku sudah pulang. Maukah kau bangun, cha?” tanyaku lagi ketika reaksi yang kudapat tak seperti yang kuharapkan. Micha hanya mengejapkan matanya dengan kebingungan sesaat kemudian airmatanya mulai membasahi pipinya…

“Bintang?....,” tanyanya bagai putrid tidur yang baru tersadar dari mimpinya.

“Selamat Ulang tahun Michaku…. Maapkan aku yang terlambat untuk mengucapkannya. Betapa aku tersiksa ketika tahu aku telah melewatkan malam yang seharusnya menjadi milikku.” Kataku sambil menjangkau sebuket bunga mawar yang tadi kulemparkan begitu saja diatas tempat tidur kami.

“Dan tahukah kamu, tak ada sedikitpun hal lain yang dapat menyingkirkanmu dari hatiku. Sampai kapanku aku selalu mencintaimu, Cha. Maapkan aku yang telah begitu saja dimabukkan ambisiku sendiri. Maapkan aku yang tak bisa membagi waktuku untuk lebih memperhatikanmu seperti dulu.” Kata-kata terus memberondong keluar dari mulutku tanpa dapat kutahan, bagai air yang keluar dari botol yang tersumbat sekian lama….. Ku sodorkan buket bunga itu dihadapannya dan nyaris sepersekian detik, aku bagai tertusuk tatapannya.

“Bintang…… terima kasih. Aku kira kamu telah melupakanku seperti melupakan hari-hari istimewa yang telah lalu. Maapkan aku yang sempat meragukanmu.” Bisiknya sambil memelukku.

Rasa nyaman menyeruak dalam hatiku. Cinta yang menenangkan seperti ini siapa yang sanggup menepisnya. Aku yakin, selamanya aku akan selalu haus akan cinta yang seperti ini.

“Basuhlah mukamu…. Kita nikmati makanan yang telah kamu sediakan untukku, Cha. Dan aku punya kejutan lain yang menunggumu di meja makan.” Kataku membantunya berdiri dan mendorongnya perlahan ke kamar mandi.

Tanpa kata-kata membantah Micha berlalu ke kamar mandi. Aku mengeluarkan kotak mungil yang kupersiapkan beberapa hari yang lalu sebagai kado ulang tahun Micha dan memasukkan ke kantong celanaku. Aku menunggunya di meja makan. Mengganti lilin-lilin yang habis meleleh begitu saja dengan yang baru dan menyalakannya.

“Makanannya telah dingin…. Haruskan kupanaskan dulu,” tanyanya ketika kakinya tertegun disamping meja makan kami.

“Makanan ini akan terasa hangat saat aku menikmatinya bersamamu, Cha.” Kataku menarik kursi disebelahku agar Micha segera duduk.

“Kata-kata gombal darimana pula itu… ,” jawabnya dengan senyum jahil menghias di bibirnya.

Aku tak menghiraukan kata-katanya, mengeluarkan kotak mungil tadi dari kantongku, membukanya, dan langsung memasangkannya di leher Michaku.

“Selamat ulang tahun bidadariku…. Dan tolonglah diingat sampai habis nafasmu, bahwa aku selalu mencintaimu. Sampai kapanpun akan tetap mencintaimu.”

“Oh Bintangku…. Terima kasih.” Micha langsung berdiri lagi dari kursinya dan langsung memelukku. “Tak ada apapun yang kuharapkan selain kehadiranmu, perhatianmu dan rasa cintamu.” Lanjutnya lagi.

Kami menikmati makan malam ini dengan kebahagiaan yang nyaris tak dapat kutuliskan dalam kisah ini. Dan aku berjanji dalam hati, apapun di dunia ini tak akan ada lagi yang kukejar selain Michaku. Membahagiakan Michaku dan tak melupakan kebahagiaan yang selama ini ada bersama kami namun nyaris kusingkirkan demi pekerjaanku.

“Aku Selalu Mencintaimu, Cha,” bisikku menatap kedalaman matanya yang menenangkan.

“Ya… aku akan tetap mencintaimu pula Bintangku. Jangan pernah menghilang dari aozoraku.

0 komentar:

Posting Komentar