Rabu, 03 Maret 2010

Mengapa Aku Menulis?

Mengapa Aku Menulis?

(Sebuah Motivasi Menulis)

Goresan Pena : Miftah el-Banjary

Ada banyak motivasi mengapa orang ingin menjadi seorang seorang penulis. Ada yang berkeinginan agar mendapatkan populiritas. Namanya dikenal dan disebut-disebut bak seorang selebritis. Dia ingin tampil memukau dihadapan para penggemarnya dalam acara-acara bedah buku. Setiap orang berebut berdesak-desakkan untuk meminta tanda tangannya atau sekedar foto bareng. Ada pula yang menjadikan profesi sebagai penulis sebagai pilihan profesi yang menghasilkan uang. Mengharapkan limpahan rezeki nomplok ketika karya yang ditulisnya 'best seller' atau mengharapkan royalti per 3 bulanan. Dan ada pula yang hanya ingin sekedar berbagi pengetahuan, atau sekedar hobi. Lama aku merenung, menelusuri alasan yang manakah yang mendasari mengapa aku menulis?

Aku kembali terpikir, seandainya aku menulis hanya menginginkan populiritas, seberapa besar populiritas itu? Jika aku menulis hanya untuk mencari kekayaan, maka seberapa banyak kekayaan yang akan kudapatkan? Sekiranya aku menulis hanya untuk sekedar hobi atau meluangkan waktu, maka sungguh aku rugi besar, sebab banyak waktuku yang terbuang hanya untuk sekedar hobi, padahal masih banyak kewajiban yang lebih utama aku lakukan. Aku tidak ingin terjebak dalam jebakan massa .

Menulis Adalah Proyek Peradaban Masa Depan

Dalam perenungan panjang, aku teringat dengan pertanyaan Imam Ghazali. Dalam satu majelis, Imam Ghazali pernah bertanya kepada murid-muridnya. "Apakah yang paling dekat dengan kita di dunia ini?" Masing-masing murid memberikan berbagai macam jawaban. Orang tua, guru, teman, istri, anak-anak, kerabat dan berbagai macam jawaban lainnya yang berbeda-beda. Imam Ghazali tersenyum. Beliau tidak menyalahkan jawaban-jawaban tersebut. Namun, beliau punya jawaban tersendiri. "Akan tetapi, yang paling dekat dengan kita adalah mati. Ya, itulah jawaban yang tepat! Jarak antara kita dengan kematian, sama dekatnya jarak antara keluar dan masuknya nafas yang sedang kita hirup saat ini.

Ya, kita semua akan mati! Lantas warisan apakah yang akan tetap mengabadi? Tak ada yang mengabadi, melainkan tulisan yang kita tinggalkan? Bukankah kita mengenal orang-orang hebat sebelum kita, lantaran mereka meninggalkan tulisan? Darimana kita mengenal bahwa Imam Ghazali pernah hidup di abad ke-5? Tentunya dari karya-karyanya, semisal Ihya Ulumuddin, Tahafut Falasifah, Kimia Sa'adah, Minhaj al-Abidîn. Kita mengenal tokoh-tokoh besar dalam sejarah, semisal: Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Katsir, Ibnu Batutah, Ibnu Haitsam, Ibnu Thufail, Ibnu Nafis, dan ratusan ibnu-ibnu yang lainnya. Darimana kita mengetahui bahwa mereka adalah ilmuwan muslim? Ya, tentunya dari karya-karya mereka, bukan? Jasad mereka terkubur dalam perut bumi, namun nama mereka mengabadi lantaran mereka meninggalkan sesuatu yang tertulis. Allazî 'alama bil qalam (Dialah yang mengajarkan kamu dengan pena).

Ada baiknya, kita bercermin dengan para ulama kita terdahulu. Imam Ibnu Taymiyyah jumlah karangannya mencapai 500 jilid. Ibnu Qayyim muridnya juga mengarang tak kurang dari 500 jilid. Imam Baihaqi mengarang lebih dari 1000 juz. Ibnu Jauzi menulis lebih dari 500 buku. Imam Fakhrurazi meninggalkan karangan sebanyak 200 buku. Karangan Abu Ubaidah Ma'mar bin al-Mustanna mencapai 200 buku. Ibnu Suraij mencapai 400 buku. Dan masih ribuan ulama lain yang tak bisa saya sebutkan di sini.

Ya, pekerjaan menulis adalah upaya menuliskan nama si penulisnya di prasasti sejarah. Menulis adalah proyek peradaban masa depan. Jika Descartes mengatakan, "Jika aku berpikir, maka aku akan ada!" Maka di sini aku akan berkata, "Jika aku menulis, maka aku akan tetap ada!" Ya, itulah jawabannya, mengapa aku menulis? Sebab aku ingin abadi! Aku ingin dikenang! Tulisanlah yang akan mengabadikan si penulisnya, kendatipun tubuhnya sudah terkubur bersama tulang belulang yang berserak.

Jika menulis hanya diniatkan untuk populiritas dan materi semata, maka semuanya hanya akan menjadi siksaan. Betapa banyak penulis hebat yang bunuh diri, bukan lantaran mereka tidak mencapai tujuannya, namun mereka lupa bahwa menjadi seorang penulis tak sekedar menekuni dunia kepenulisan, namun di sana ada visi, cita-cita, dan idealisme yang harus diperjuangkan. Lihatlah Ernest Hemingway, misalnya, peraih Nobel Sastra bunuh diri di Ketchum. Idaho pada tahun 1961 dengan menembak dirinya. Atau, Hunter S. Thompson. Dia mengakhiri hidupnya dengan menembak kepalanya sendiri.

Ada lagi, Virginia Woolf menenggelamkan dirinya ke sungai dengan meninggalkan sepucuk surat kepada suaminya yang menjelaskan bahwa dia merasa akan menjadi gila dan tidak akan sembuh. Terus, Yukio Mishima pada usianya yang baru 45 tahun membunuh dirinya dengan merobek perutnya sendiri (Harakiri). Lalu, Yasunari Kawabata juga melakukan hal yang sama yaitu harakiri di usia 73 tahun dan dia adalah penerima hadiah Sastra Nobel. Masih banyak lagi daftar penulis bunuh diri. Na'udzubillah min dzalik! Mereka tidak abadi, sebab tujuan mereka hanya sekedar tujuan sesaat.

Tekanan batin yang lebih kecil dikala niat sudah tidak ikhlas adalah kekecewaan. Ada banyak penulis yang berhenti menulis, hanya lantaran kecewa naskahnya ditolak penerbit. Ada pemula yang tidak menulis lagi hanya disebabkan kecewa tulisannya dikritik orang lain. Tulisannya tidak dibaca atau diapresiasi. Semua bermula dari kekeroposan batin dan niat yang belum lurus.

Saya baru menyadari betapa dahsyatnya hadist Rasulullah Saw yang pernah diriwayatkan oleh Umar Ibnu Khatab. Redaksi haditsnya pendek, namun maknanya luar biasa hebatnya, sehingga dalam ilmu ushul fiqih redaksi ini menjadi landasan kewajiban dalam seluruh ibadah yang wajib. Hadits itu berbunyi: Innâma al-'amalu bin niyyât (Segala sesuatu harus dimulai dari niat). Indikasi niat seseorang, dapat dilihat dari perilakunya. Karya yang kau tuliskan, ada orang yang mau membaca atau tidak, ada orang yang memuji atau mencemooh, itu bukan urusanmu! Urusanmu adalah menulis dan terus menulis! Oleh karena itulah, prinsip pertama yang harus ada dalam diri seorang penulis adalah ketulusan niat. Wahai para penulis, luruskan niatmu, menulis hanya semata-mata karena berjuang li'la kalamatilllah!

Menulis Adalah Ibadah Sosial

Dalam satu kesempatan berjalan menelusuri kota Cairo (Jami'ah Wafa al- 'amal- Teknologi Mall, Nasr City ) pada malam hari bersama Udo Yamin Majdi (Penulis Quranic Qoutient), saya bertanya kepada beliau, "Udo kenapa sich antum memilih profesi sebagai penulis?" Dengan santai beliau menjawab, "Saya ini bukan orang yang ahli tahajud, saya ini bukan orang yang bisa berderma dengan harta, saya bukan orang da'i yang bisa mengajak orang lain berbuat kebaikan. Saya tidak punya sesuatu yang bisa saya berikan, kecuali saya berharap tulisan saya bisa bermanfaat dan memberikan pencerahan bagi orang lain. Barangkali di sanalah amal ibadah yang bisa saya lakukan." Ketika mendengar penuturan yang sederhana, namun sarat dengan makna itu, tiba-tiba dada saja tertohok.

Hal sama yang membuat saya terkesima adalah wasiat Mbah Neneng Mahendra kepada Udo Yamin (Direktur milis WSC ini). Saya tidak tahu persis berapa usia Neneng Mahendra sesungguhnya. Saya hanya bisa menduga, barangkali usia beliau lebih dari 60 tahunan. (Maaf Mbah kalau saya salah menyebutkan, hehe..) Beliau salah satu member teraktif di milis WSC saat ini.

Di sini saya hanya ingin memberikan contoh betapa orang yang berusia lanjut seperti beliau masih tetap bersemangat berkarya. Saya pernah membaca pesan yang beliau sampaikan kepada Udo Yamin melalui surat balasan email. Mbah Neneng mengatakan bahwa beliau mempunyai banyak naskah di koper besinya, dan suatu saat silahkan untuk diterbitkan. Beliau pernah berniat menulis cerpen, hingga akhirnya berkembang menjadi sebuah novel. Di sini saya sebagai anak muda merasa tersentil untuk terus memacu semangat agar bisa mengikuti jejak langkah beliau. Dan ternyata lagi, usia tidak membatasi seseorang untuk terus berkarya. Luar biasa!

Kembali ke cerita Udo tadi, jawaban beliau membuat hati saya benar-benar terenyuh. Iya ya. Ya, berarti menulis termasuk ibadah dong? Iya benar! Sejatinya ibadah tidak terbatas pada ibadah ritual di mesjid saja. Ibadah itu luas. Pekerjaan baik apaapun yang dilakukan semata-mata mengharapkan ridha Allah dapat kita kategorikan sebagai ibadah. Termasuk menulis yang membawa pembacanya kepada pencerahan dan mengingat Allah.

Saya teringat kepada perjuangan para ulama kita dahulu. Andaikan dahulu para ulama hanya mementingkan shalat sunat ribuan raka'at, berzikir jutaan kali, atau asyik dengan aktivitas ibadah mereka masing-masing, tanpa mereka mau meluangkan waktunya untuk mewariskan ilmu pada lembaran-lembaran kertas, tentunya kita akan kesulitan memahami agama ini. Sebab jarang sekali ada orang yang mau menuliskan tafsir al-Qur'an. Jarang sekali, ada orang yang mau mengkodifikasikan hadits. Sehingga kita tidak bisa mengenali mana hadits yang shahih, mana yang dhaif, mana hadits yang munkar dan mana hadits yang maudhu (palsu). Kita akan kesulitan memahami hukum-hukum syariat, sebab tidak ada orang mau menulis tentang ilmu fiqih dan cabang ilmu-ilmu bermanfaat lainnya.

Pantaslah di dalam al-Qur'an Allah sendiri bersumpah dengan nama pena. Nun. Wal qalami wa ma yasturûn (Nun. Demi yang dituliskan). Di sinilah Rasulullah memuji para penulis, yang aliran tinta mereka ditimbang dengan nilai darah para syuhada. Seorang penulis yang menggunakan penanya untuk berdakwah semata-mata karena Allah termasuk ibadah sosial yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi orang lain. Di sinilah salah satu aplikasi dari redaksi hadits Rasulullah yang mengatakan 'amal jariyyah'; amal senantiasa mengalir, kendatipun jasad si penulisnya telah bersatu dengan bumi. Di sini saya ingin mengajak generasi muda –khususnya para penuntut ilmu- agar meneruskan tradisi mengarang seperti ulama kita zaman dahulu! Jadikanlah aliran tinta penamu sebagai pengganti pedang para syuhada yang telah mengalirkan darah mereka demi menegakkan li'ila kalimatillah!

Cairo, 28 Feb 2010

Pukul : 12. 52 AM

Wassalam

Moderator

0 komentar:

Posting Komentar