Senin, 05 April 2010

Mimpi

“Sudah dong, Ra.... Aku capek kaya gini terus kejadiannya. Tiap telpon selalu ribut.”

“Loh... aku kan cuma tanya kenapa akhir-akhir ini kamu jarang kasih kabar ke aku. Jangankan telpon.... sms aja harus aku yang duluan sms berkali-kali baru kamu balas dengan sms yang cuma satu kali.”

“Berkali-kali uda aku jelaskan kan? Aku sibuk, Ra. Sibuk banget akhir-akhir ini. Kamu juga kan yang nyuruh aku untuk usaha lebih giat, untuk lebih semangat mencari-cari peluang. Sekarang peluang itu ada di depan mata, Ra.... Eh malah sekarang kamu curiga terus. Aku capek, Ra kalau tiap kali telpon harus ribut kaya gini.”

“Sesibuk-sibuknya orang, masa gak ada istirahatnya sih? Dan dari saat istirahat itu, kamu bisa kan meluangkan waktu 5 menit aja untuk kasih kabar ke aku. Cuma 5 menit!” teriak Rara.

“Ra, diklat 3 hari ini benar-benar membuat aku kehabisan waktu, Ra. Dan kadang-kadang saat jam istirahat kugunakan waktu untuk berdiskusi atau sekedar mengenal para rekanku sesama peserta diklat, siapa tahu ada peluang-peluang lain. Nah masa orang lagi diskusi gitu aku harus sambil sms-an sama kamu. Ga sopan itu, Ra. Dan orang jadi ga respek sama aku, kalau aku sampai melakukan itu.”

“Aku cuma minta sedikit waktu aja kok. Kamu terlalu banyak alasan. Ada aja yang kamu jadikan alasan kenapa kamu sekarang gak memperhatian ma aku lagi.”

“Terserah apa katamu lah. Aku benar-benar capek. Harusnya kamu mendukungku, tapi kamu malah selalu mencari hal-hal yang bisa kamu jadikan bahan untuk ribut. Aku benar-benar capek.” jawabnya dari seberang sana sambil menutup telpon langsung tanpa pamit.

Rara terdiam. Menangis pun rasanya percuma. Selalu saja jadi ga enak keadaannya setiap acara bertelpon ria seperti ini. Harusnya saat-saat seperti ini menjadi moment indah mereka berdua untuk saling melepaskan rindu karena lama tak bertemu.

Ah... inilah yang kutakutkan bakal akan terjadi sama hubungan kita. Dulu aku pikir rencana untuk pisah sementara meniti masa depan adalah hal terbaik untuk kita. Dan sesuai rencana, 2 bulan lagi aku akan menyusulmu. Tapi kenapa malah seperti ini kejadiannya? Sebulan terakhir ini, kita selalu bertengkar. Kamu yang dulunya begitu perhatian kepadaku kenapa sekarang malah jadi tak peduli? Rara berkutat dalam kegelisahan hatinya.

Instingnya mengatakan bahwa pasti terjadi sesuatu yang membuat Andre berubah. Sejujurnya Rara sangat senang ketika mendapat kabar bahwa Andre mendapat kesempatan untuk bekerja menjadi peserta rekanan salah satu instansi pemerintah sebagai petugas entry data. Rara pun sebenarnya maklum saja akan pekerjaan Andre pastilah sangat banyak. Pada awalnya Andre masih sering memberinya kabar. Tapi satu bulan belakangan ini semuanya berubah. Tak ada lagi perhatian. Tak ada lagi kerinduan yang terluapkan pada saat bertelpon. Yang ada sekarang hanya teriakan demi teriakan. Dan hatinya yang terselimuti curiga begitu menyiksanya. Hampir tiap malam Rara nyaris tak dapat tidur dengan lelap. Hatinya benar-benar gundah. Rasa takut di khianati, kepercayaan dihatinya yang mulai luntur, kegelisahan akan pertemuannya kembali dengan Andre dan akhir kisah hubungan jarak jauh ini akan seperti apa terus menghantui setiap relung pikirannya.

“Ah... menyebalkan....,” jeritnya akhirnya untuk melepaskan segala keresahannya dan berusaha memejamkan mata, subuh sudah menjelang. Rara harus segera tidur kalau ga ingin kesiangan bangun.

* * *

Enam tahun sudah hubungan Andre dan Rara. Enam tahun merenda segala moment-moment kehidupan yang mereka jalani bersama. Menangis dan tertawa bersama telah menjadi bagian dalam hari-hari mereka. Tak ada yang tersembunyi. Cinta yang mereka jalin dengan apa adanya. Tanpa polesan dan sandiwara. Sampai akhirnya keputusan Rara untuk menerima pekerjaan di kota lain membuat mereka harus berpisah sementara.

“Ambil aja kerjaan itu, Ra. Dapetnya kan lumayan tu buat nambahin tabungan kita.” saran Andre ketika itu.

“Tapi kita terpisah loh, Ndre. Apa bisa kita hidup terpisah? Satu tahun itu lama loh, Apalagi banyak teman- teman yang hidup terpisah gitu akhirnya malah ga jadi.” Rara sangat ragu-ragu menerima tawaran kerja itu.

“Ini kesempatan bagus, Ra. Peluang itu ga akan datang dua kali loh. Aku biar disini aja. Mengelola usahaku ini siapa tahu bisa berkembang. Kalau gak ya aku nanti coba-coba cari peluang lain. Tapi yang penting kamu dapat kesempatan yang bagus gini jangan sampai disia-siakan.” kata Andre menenangkan Rara.

“Tapi..... ntar kalau kangen gimana? Kalau kamunya selingkuh gimana?”

“Ga akan lah. Kamu itu calon istri yang kupilih. Cuma kamu yang ada di hatiku dan aku gak mau ada yang lain lagi. Kamu tenang aja. Cuma satu tahun, Ra. Dan di akhir tahun itu, kamu kembali ke kota ini dan kita menikah. Gimana?” wajah Andre yang begitu meyakinkannya akhirnya membuat Rara melangkah untuk menggapai impiannya, mencoba mengais rejeki di kota lain.

* * *

“Andreeee.....!! Kamu harus menjelaskan semuanya ke aku. Apa maumu sebenarnya sih?? Empat hari ini kamu bagai menghilang di telan bumi. Kutelpon berkali-kali, ga kamu angkat. Malah kadang handphonemu mati. Smsku gak kamu balas. Apa maumu sih???” emosi Rara benar-benar pecah sekarang ketika akhirnya handphonenya tersambung ke Andre setelah belasan kali mencoba.

“Ra, aku capek dengan semua ini. Aku ga mau lagi menjalani semua ini.” jawab Andre dari ujung sana.

“Apa maksudmu, Ndre?”

“Kita sudahi aja semua ini. Aku ga tahan akan sikapmu. Kamu mencurigai aku terus. Aku capek jadi orang yang ga kamu percayai, Ra.”

“Maksudmu kita putus???? Lalu janjimu untuk menikah dua bulan lagi itu......” Rara mulai tak dapat menahan segala emosi yang melandanya.

“Batal! Buat apa hubungan ini dilanjutkan kalau kamu ga bisa mempercayaiku....” ketenangan suara Andre membuat hatinya hancur berkeping-keping.

“Ga mungkin hanya alasan itu, Ndre. Alasanmu sama sekali ga masuk akal!!! Jujur aja, Ndre.... Please.... Hatimu sudah di isi dengan yang lain kan??”

Keheningan menyelimuti.... Tak ada jawaban dari Andre.... Hanya isak tangis Rara memenuhi seluruh jaringan yang menghubungkan dua handphone di kota yang berbeda itu.

“Namanya, Echy, Ra. Aku lebih memilihnya.... Maaf.”

Sebelum Rara sempat menjawab, nada terputus langsung terdengar....

* * *

“Aaaaaahhhhh...............” teriakan kalut Rara membahana

“Aku gak mau putus, Ndree! Kenapa kamu lakukan ini...!!!!”

“Bruaaakkk.....” Rara jatuh.

Dengan bingung Rara membuka matanya. Sinar matahari menembus sela-sela tirai yang menutup jendela kamarnya. Di tatapnya handphone yang tergeletak di atas meja rias di seberang tempat tidurnya. Di lihatnya jam dinding yang menempel di atas meja rias, jam tujuh.

Rara langsung menarik nafas lega. Ah … ternyata hanya mimpi. Pastilah mimpi ini ada karena terbawa kejadian sesaat sebelum dia tertidur subuh tadi.

2 komentar:

imoet mengatakan...

aaaahhhh ikutan lega. ternyata cuma mimpi! *fiuh!*

i love reading your cerpen, ce.

My Sky mengatakan...

To Imoet :
Wah baru sadar ada tamu ternyata :">
Makasih yah uda berkunjung...

Makasi juga krn kamu suka dan terhibur dgn cerpen yg ku tulis... Maaf jika masih byk kekurangan yah...

Posting Komentar